Cinta Di Ujung Rindu 2

339 33 2
                                    

Dua

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Dua

Siapa sangka, apa yang baru Zein niatkan untuk dia cari malah tak sengaja ketemu. Kebetulan yang tak lantas Zein abaikan begitu saja. Ada kehangatan yang dia rasakan menjalari hatinya yang tiba-tiba bergetar entah karena apa, ketika Tiwi melintas di depannya.

Ada kaca besar di sebuah ruangan yang tadi Azzam sebut sebagai kantornya. Zein yang duduk menghadap kaca bertumpu sofa usang berwarna coklat pudar itu, berkali-kali melihat Tiwi melintas di sana. Dengan berjuta ekspresi dari wanita itu.

Hingga titah Azzam pada karyawannya telah menghantarkan seorang gadis berambut sebahu yang dibiarkan terurai itu masuk ke ruangan itu. Tiwi membawa nampan berisi kopi dan kue.

"Kenapa kamu yang antar, Wi?" tanya Azzam. "Ke mana Bu Nur?"

Setelah semua apa yang dibawanya tersaji di atas meja, Tiwi berdiri tegak sambil memegang nampan dalam dekapannya. "Beliau izin pulang, Pak. Anaknya sakit."

Suara gadis itu masih selembut dulu, hanya iramanya yang terdengar tak lagi malu-malu. Justru Zein yang tengah merasa ingin sembunyi sekarang, padahal sebagian wajahnya sudah tertutupi masker berwarna hitam. Tiwi tak akan mengenalinya.

"Baiklah. Kamu bisa lanjutkan pekerjaanmu." Azzam telah membuat Tiwi hengkang dari sana dan Zein merasa kehilangan.

Rano melihat itu, lalu menyenggol bahu Tuan Mudanya. "Ingat soal jaga pandangan, Zein?"

Zein gelagapan. Cukup terlena dia hingga tak bisa beralih pandang. Istighfar pun dia rapalkan berulang hingga Rano terkekeh dibuatnya.

"Zein?" Azzam memanggilnya.

"Iya, Zam."

"Apa benar kami tak harus memberi jaminan apapun pada bantuan kamu ini?"

Tersenyum lebar kala dia dapati wajah Azzam yang nampak sungkan padanya. "Sungguh, Zam. Tak perlu. Aku justru senang karena bisa menolong."

"Masyaa Allah tabarakallahu, Tuan Muda." Azzam nampak bahagia setelah Zein meyakinkannya. Kejadian buruk seperti ini baru sekali dialami oleh bisnis keluarganya. Hingga ayahnya terserang stroke akibat terlalu memikirkan dampak dari persaingan dari bisnis serupa ini. "Jazakallahu khoiron, Zein."

"Tapi jika saya boleh usul, Tuan Muda. Bukankah kita perlu tahu, identitas dari para pekerja di sini? Hanya agar kita yakin bahwa tak ada yang janggal di sini. Agar kejadian serupa tak terjadi lagi." Rano seolah mengingatkan tujuan Zein soal mencari Tiwi. Sudah ketemu, setidaknya perdalam saja sekalian.

"Boleh, boleh." Zein berkata ragu. Tapi kemudian dia berpikir bahwa Rano ada benarnya.

Azzam pun mengajukan tanya, apakah harus kenalan satu-satu atau Zein melihat data diri mereka.

"Kamu saja yang ceritakan tentang mereka, Zam. Aku malas membaca."

Azzam pun terkekeh, lalu mengajak Zein berkeliling. Zein rasa itu ide yang bagus, dia jadi tahu perihal kabar Tiwi yang terkini.

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang