Kartu Curian

2.7K 376 98
                                    

Ini sedikit aneh.

Seorang Aji Prabaswara yang dikenal nggak punya hati, sore ini menjelma menjadi sesosok pria baik hati. Tapi, andai mata hatinya tak sedang tertutup luka, mungkin dia akan bisa melihat dirinya yang dulu. Seperti yang Adinda kenal sebagai Om Baik.

Di tengah proses jual beli alat tulis kantor yang jumlahnya bisa sampai satu kardus besar, hujan turun dengan lebatnya. Zein mengheboh saat itu juga dan hendak menerobos hujan karena teringat bahwa rumah sewanya akan bocor di sana sini saat air dari langit itu turun. Makanya, dia ingin pulang untuk memastikan.

Aji sedang melihat kepanikan itu sekarang, karena dia memaksa untuk mengantar Zein untuk pulang. Pemuda belia itu kini tengah membawa beberapa ember untuk ditaruh di titik kebocoran. Terlihat miris bagi pandangan mata seorang pemilik rumah besar nan mewah bernama Aji itu.

"Makasih ya, Pak. Udah nganter saya. Kalo tidak, buku-buku Kak Dinda bisa basah semua, dan gagal buat dikirim," kata Zein sembari ikut duduk di kursi ruang tamu bersama Aji.

"Buku apa itu?" Aji akan mencari tahu. Seperti kata Samara, tak kenal maka tak sayang.

"Oh, itu. Kakak saya seorang penulis novel. Bukan penulis besar sih, tapi lumayan laku juga bukunya. Baru siang tadi buku-buku itu datang. Andai tadi anda nggak nganter saya, mungkin buku-buku itu sudah basah. Kak Dinda bisa rugi karena harus mengganti."

Aji sedikit tersenyum, karena sikap Zein yang terlalu formal padanya. "Jangan panggil 'pak'! 'Mas', aja."

Zein mengangguk lalu mengulurkan tangannya. "Kita kenalan dulu, Mas Aji!" tawarnya berani seraya tersenyum.

Sejenak berpikir, lalu Aji tertawa. Tangannya pun terulur menyambut tangan pemuda di depannya itu. "Kamu ngintip namaku di KTP?"

Zein malah meringis. "Mau nggak mau, pasti juga terlihat. Nama saya Zein, Mas."

"Masih sekolah?" tanya Aji setelah tautan tangan mereka terlepas.

"Iya, kelas sepuluh."

Aji manggut-manggut tanda paham. Lalu mengajukan tanya yang lain. "Kamu tinggal di sini hanya berdua dengan kakakmu?"

"Iya, dan Kak Dinda sedang bekerja sebagai tukang masak di rumah orang." Zein tiba-tiba berdiri, "saya buatkan minum dulu buat Mas Aji. Mau kopi atau teh?"

"Kopi hitam aja jika tidak merepotkan kamu."

"Oke. Tunggu bentar, ya." Pemuda itu lalu meninggalkan tamunya tanpa curiga.

Padahal ...

Aji seketika langsung berdiri, lalu mengendap masuk ke kamar yang dia curigai sebagai kamar Adinda. Saat satu langkahnya telah menapaki ubin lembab kamar juru masak yang hari ini cukup membuatnya sedikit gila, pria itu menghela nafas. "Kamu udah mirip kayak pencuri, Ji." Lalu kakinya tak ragu lagi untuk menjelajahi kamar tak seberapa besar itu.

Suara petir yang tiba-tiba menggelegar, telah mengagetkannya. Seolah itu pertanda dari Tuhan bahwa apa yang dia lakukan adalah salah.

"Bagaimana bisa tau jika tidak mencari tahu?" pembenarannya. Laci nakas paling atas sudah Aji buka perlahan. Dia pun mengerutkan keningnya, saat ada banyak kartu ucapan tertata rapi yang ditangkap indera penglihatannya. "Satu saja," kertas lipat kecil bergambar bunga dia masukkan ke dalam saku kemejanya.

Seolah tak cukup, laci berikutnya dia buka. Tak ada yang menarik di sana, hanya ada beberapa ikat rambut dan bros.

"Aku pikir akan menemukan sebuah buku diary atau semacamnya di sini. Tapi hanya ada foto gadis itu entah dengan siapa ini dan tumpukan buku novel. Novel?" Di akhir gumamannya, kemudian Aji menoleh pada ranjang usang kecil dengan seprai motif bunga yang membungkus kasurnya. Ada sebuah kardus besar di atasnya. Kaki panjangnya pun menuju ke sana. "Masih dibungkus rapi," keluhnya. Mungkin tadinya dia berharap bisa mengambil satu dari isi kardus itu.

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang