Namanya Adinda

2.8K 415 74
                                    

Mengendarai mobil dengan sesekali melirik sang istri yang tengah fokus berkutat pada ponsel. Aji dibuatnya heran. Apa menulis cerita harus seserius itu hingga dia seperti tak dianggap ada? Atau Adinda sedang marah padanya?

Berdehem kecil sambil melihat ke jalan raya menuju hotel bintang lima di mana pesta yang akan mereka kunjungi diadakan malam ini.

"Adinda?"

"Iya, Mas."

Jawaban nan lembut dari istrinya, Aji artikan bahwa wanita di sampingnya itu tidak sedang marah akibat perdebatan kecil yang tadi terjadi akibat sifat kekanakan pria matang itu.

"Masih kesal padaku?"

Adinda memberi perhatian penuh pada si sopir dan menurunkan ponsel di pangkuannya. "Memangnya kapan aku kesal?"

"Tadi. Sewaktu aku melarang kamu memakai ini dan itu."

Adinda malah tertawa kecil, "iya, aku sampai heran tadi hingga akhirnya aku jadi percaya akan satu hal. Mas Aji cemburuan banget. Alhamdulillah."

Aji sedang bersiap membalas ledekan istrinya tapi Adinda keburu mengusap lengan kirinya yang tengah memegang setir dengan lembut. "Terima kasih," kata Adinda.

"Kenapa malah bilang terima kasih?"

"Karena rasa cemburumu telah menjagaku dari murkanya Allah."

"Kok bisa?"

"Berhias hanya untuk suami, tadi aku hampir lupa dengan hal itu. Baru pilih baju, Mas udah keberatan duluan. Baru poles lipstik, Mas juga udah protes. Jadi, nanti kalo ada yang bilang istri Mas Aji jelek, jangan marah sama dia ya."

Aji terkekeh. "Biarin aja orang ngomong apa. Yang penting aku tahu secantik apa kecantikan yang disembunyikan oleh istriku ini dari dunia luar." Hati Aji sudah menghangat dan tak menduga-duga lagi. Adinda sedang tak marah atau mengabaikannya. "Lanjutlah menulis. Kata kamu, inspirasi datang nggak tahu waktu dan tempat. Nanti inspirasinya keburu kabur."

Tapi Adinda malah cuma mengusap layar ponsel yang gelap di pangkuannya itu. Seperti sedang menimbang sesuatu hal yang tengah menghantui pikirannya sejak dia punya ponsel lagi. Mengingat betapa cemburuannya pria di sampingnya itu. Suatu saat Aji pasti memeriksa ponselnya dan melihat pesan-pesan dari Putri.

"Mas, kayaknya aku mau jujur deh."

"Heh? Memangnya kamu sedang berbohong apa padaku?"

"Bukan bohong, tapi ada kisah yang belum aku bagi sama kamu."

"Soal pria?"

Tuh 'kan? Baru begitu saja, nada bicara Aji langsung sewot dan terhubung dengan kaum Adam.

"Bukan. Kenapa nebaknya ke situ sih?"

"Lalu apa? Aku tak mau serangan jantung karena terkejut tentang hal yang kamu sembunyikan itu jika itu menyangkut pria lain."

"Aku tidak menyembunyikan, tapi hanya belum membaginya." Adinda terdiam dengan tarikan nafas yang berulang-ulang. "Apa tidak apa-apa jika kita terlambat ke pesta?" tanya Adinda pada Aji yang sudah menepikan mobilnya. Itu dia artikan bahwa mereka akan bicara serius.

"Malah bagus. Aku jadi tak perlu berbasa-basi sama orang-orang. Biarin saja Baim kesal karena menungguku lama. Bicaralah," titahnya seraya menggenggam jemari istrinya.

"Janji nggak jantungan?"

"Lah, mana bisa janji tentang hal itu sih, Sayang." Aji mengecup punggung tangan kanan yang digenggamnya. "Ini udah berdebar. Bicaralah!"

Adinda tertawa karena hal itu. Harusnya, dia yang gemetaran karena gugup akan mengaku. Meski begitu dia putuskan untuk segera memulai pengakuan. "Aku seorang penulis. Meski bukan penulis besar, tapi udah punya pembaca setia yang suka berkirim pesan, entah lewat medsos atau berbalas komentar. Nah, salah satu dari pembaca itu bahkan ada yang sangat dekat hingga sudah seperti kawan nyata saja. Padahal bertemu pun kami belum pernah."

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang