Cinta Di Ujung Rindu 7

269 31 0
                                    

Tiwi tak mau bicara, dan acara makan es krim sudah tak ada lagi tawa riang Nada. Gadis cilik itu malah ikut menangis saat dia dapati sang ibu terus meneteskan air mata. Kedua mata basah Tiwi itu lah yang bicara seolah duka dan lara yang pernah dirasa teramat luar biasa.

Zein hanya bisa diam sambil menebak sendiri apa salahnya.

Hingga dia tak tega melihat Nada yang sedang diabaikan oleh Tiwi karena wanita itu sibuk menghentikan tangisnya. Zein menggendong Nada, berusaha membuat anak itu berhenti menangis.

"Nada sayang. Mungkin jika Nada mau berhenti nangis, maka Ibu juga mau berhenti. Udah ya, nangisnya." Banyak usapan lalu ditambah pelukan. Zein bisa apa selain melakukan itu pada gadis cilik itu.

Tak peduli lagi pada tatapan orang-orang yang membicarakan mereka. Pikirannya terus menerka, sebenarnya dia salah apa?

"Kita pulang!" Tiwi mengambil alih Nada lalu menggendongnya keluar kedai.

"Tunggu, Wi!" Zein mengejar tapi tetap tak dihiraukan. Kakinya terus melangkah agar bisa semakin menjauh dari pria yang setengah mati dibencinya itu.

"Kasihan Ayah, Bu." Nada memohon, tapi tetap tak bisa menghentikan langkah ibunya. "Kita akan ketemu lagi 'kan, Ayah?!" Suara nyaring Nada saat tangan Tiwi melambai untuk menghentikan sebuah angkot yang melintas.

"Insyaa Allah. Iya, Nada!" Seru Zein dalam keputusasaannya tapi akhirnya merelakan keputusan Tiwi untuk pergi. "Lain kali Ayah akan datang mengunjungi Nada lagi." Zein melambai pada gadis cilik yang sempat menunjukkan gigi ompongnya sebelum sebuah angkot berwarna kuning membawanya pergi.

Tinggallah Zein sendiri merutuki diri sendiri. Kesalahan apa yang membuat dia begitu dibenci? Padahal dulu, Tiwi begitu menyukainya. Tapi sekarang kenapa justru kebalikannya?

***
Hanya pada Rano, Zein bagi kegundahannya. Semua data yang dia tahu tentang Tiwi sudah dia perintahkan agar Rano mengirimnya pada orang suruhan Baim. Dia tak ingin pulang ke rumah Aji karena tak ingin ketahuan menggalau begini. Bahkan sedari tadi, Rano tak bisa membuatnya tersenyum dengan candaannya yang biasanya akan membuat Zein terbahak.

Barang-barang peninggalan Tiwi berserakan di atas sofa panjang yang Zein duduki sendirian. Sementara Rano memilih berdiri di samping jendela sambil mengamati pemuda yang gundah gulana karena baru merasakan apa itu jatuh cinta.

"Buka saja buku harian itu!" Titah Rano dengan dagunya menunjuk sebuah buku di antara banyak buku novel.

"Punya orang, Chef. Nggak sopan itu." Padahal sebenarnya Zein pun ingin mengetahui isinya. Siapa tahu Tiwi menulis apa sebab dia benci padanya. Cewek 'kan gitu, keluh kesah suka dituang dalam tulisan. Hampir semua kaum hawa memiliki sebuah buku diary kala remaja.

"Tapi barang itu, sudah dibuang sama pemiliknya. Kalo Tuan Muda tak mau buka, biar saya saja." Rano maju, tapi Zein tak mencegah atau menunjukkan sikap keberatannya. Mungkin Zein pun setuju pada akhirnya.

Tangan kekar Rano dengan mudah melepas gembok kecil buku meski tanpa kunci. Lalu membukanya tanpa perasaan apapun. Berbeda dengan Zein yang berdebar luar biasa, seakan itu adalah buku catatan dosa-dosanya.

Rano membacanya dalam hati, berpindah dari satu halaman ke halaman lain. Juru masak itu bukan tipe orang yang ekspresif, jadi wajahnya tak bisa ditebak untuk sekedar dijadikan patokan kisah apa yang dia baca.

"Lama banget sih, Chef!" Zein penasaran. Sungguh.

"Karena ada banyak halamannya, Tuan. Mesti dibaca dari awal." Rano balik lembar berikutnya lalu tiba-tiba dia tersenyum. Tentu saja Zein terkejut melihat itu. Semakin penasaran lah dia.

"Apa yang dia tulis?" Kerutan di dahi Zein menggelitik Rano.

"Sejauh ini baru tentang perasaannya sama kamu. Ternyata dia beneran suka sama Tuan muda. Sepertinya dia bakat jadi penulis, semua kata yang dia tulis begitu indah."

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang