Baim
"Raja dan Kiara beneran mau nikah, Ji. Tadi nganter undangan buat kamu."Aji menaruh ponselnya di meja dengan lesu. Lalu menarik nafas sedalam-dalamnya, hal itu dia lakukan bukan karena masih ada rasa cinta yang tertinggal di hatinya buat sang mantan istri. Tapi karena pemeran antagonis di drama hidupnya lagi-lagi lebih beruntung. Bagaimana tidak? Dia yang mereka hancurkan saja belum sepenuhnya bangkit, tapi Raja dan Kiara akan melegalkan hubungan yang dulu mereka jalin diam-diam di belakangnya.
Ah, keterlaluan sekali mereka.
"Kenapa, Mas?" tanya Putri yang sadar bahwa Aji berubah ekspresi setelah membaca pesan.
"Nggak pa-pa. Buruan pesan es krim! Abis ini kita beli sepeda buat Zein."
"Kan? Lagi-lagi kamu, Zein. Tapi buat anak sebijak dia, boleh lah." Putri pun sudah seperti Aji yang menyukai pemuda enam belas tahun itu. "Mumpung Mas Aji lagi baik, mintalah apapun padanya!"
"Nggak ah, Kak. Tentang sepeda ini aja, aku takut dimarahin sama Kak Dinda nanti." Zein sedang menopang sebelah pipinya dengan satu tangan. Wajahnya yang cemberut, menandakan bahwa apa yang dia katakan tak ada unsur kebohongan. "Aku ikhlas kok ngajarin Mas Aji ngaji, bukan karena sepeda."
"Aku juga ikhlas beliin kamu sepeda. Meski tidak mengajari aku mengaji dan sholat, kamu memang butuh sepeda buat transportasi kamu, 'kan?" Aji melihat daftar menu di kedai es krim yang berada di salah satu pusat perbelanjaan kaum elite itu. "Segera pilih apa yang ingin kamu makan, Zein. Biar kita sempat membeli sepeda lalu sholat Maghrib."
Mendengar kalimat akhir dari Aji, Putri pun berbinar. "Masyaa Allah, Zein. Kamu pesulap, ya? Kang masku sekarang sealim ini. Apa kamu tidak takut bahwa ini hanya pencitraan dia saja, biar kamu restui dia nikah sama kakakmu?"
Aji seketika mendelik pada adiknya, dan Putri pun langsung tertawa karena pria itu terlihat amatlah kesal. "Pencitraan apa?" dengusnya kesal.
Setelah menghabiskan sisa tawanya Putri pun bertanya, "ngomong-ngomong, kapan Mas Aji akan menikahi Adinda?"
Masih fokus dengan buku menunya, Aji menjawab, "bagaimana kalo besok? Boleh tidak, Zein?"
"Besok?!" Putri dan Zein terkejut bersamaan.
"Apa menikah semudah itu?" tambah Putri.
"Yang penting 'kan ada wali, saksi, dan mahar. Tanggal dan hari itu tidak penting. Semua hari itu baik. Iya 'kan, Zein?"
Zein hanya terbengong. Beberapa detik yang dia habiskan dalam diam Aji tunggu dengan sabar. Hingga akhirnya Putri yang gemas lalu memanggil namanya agar Zein kembali ke topik penting yang membuat calon dokter itu penasaran setengah mati.
Kakaknya yang duda, akhirnya berbicara tentang pernikahan lagi. Padahal dulu, sebelum bertemu kakak beradik yang istimewa itu Aji akan langsung menolak atau marah jika diajak membahas soal itu.
"Aku bingung, Kak Putri. Mas Aji ini mau nikah tapi kayak enteng gitu. Apa kita nggak tanya Kak Dinda dulu? Dia 'kan calon pengantin wanitanya, bukan aku."
Jangan salahkan Putri jika dia lalu tertawa keras setelah mendengar jawaban yang seratus persen benar itu. "Nanti tanya dulu sama Adinda, Mas. Aku perhatikan beberapa hari ini kamu menghindari dia. Kenapa sih?"
"Bukannya bagus. Kata kalian, bukankah kami bukan mahram? Nanti kalo aku dekat-dekat dia, kalian protes. Aku lagi nanti yang salah. Sudah, buruan pesan!"
Putri mencebik, setelah kalimat gerutuan itu dilayangkan oleh Tuan Aji si tukang kesal. "Oh, gitu. Mas Aji kenapa sekarang jadi manis begini sih? Es krim aja kayaknya kalah manis."
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Sepatu
RomanceAji Prabaswara adalah seorang duda yang berteman baik dengan alkohol. Hidupnya liar dan tak ingin menikah lagi. Suatu hari, datang tukang masak baru di rumah besarnya yang dipekerjakan oleh neneknya. Wanita cadel dan berkacamata besar bernama Adinda...