Alasan Bertemu Lagi

2.7K 356 38
                                    

Aji marah, lalu pergi begitu saja setelah Adinda berkata akan mengajarinya mengaji. Dia pikir, tindakan Adinda adalah sebuah penghinaan baginya. Gadis itu hanya anak kecil yang dia bayar untuk memasak, bukan menceramahinya.

"Sialan! Beraninya dia!" Aji memukul setir mobilnya berulang. Mulutnya pun tak berhenti mengomel, mengumpat, dan berkata akan membalas gadis itu. "Nanti aku balas, nangis darah kamu! Semua wanita sama saja! Merasa paling benar!"

Wanita?

Ah, pria itu untuk sejenak telah melupakan dengan siapa tadi dia datang ke masjid. Neneknya pasti menangis, itulah tebakannya setelah sadar bahwa dia telah meninggalkan wanita tua itu tanpa pamit. Hingga suara klakson yang nyaring telah mengagetkannya.

Lampu rambu menyala hijau, tandanya dia harus melajukan mobilnya kembali. "Berisik, Anj*Ng! Jalan ini bukan milik nenek buyut kamu, Nj*ng!" teriaknya pada si pengendara mobil di belakangnya yang sudah jelas tak akan mungkin mendengar umpatan merdunya itu.

Akhirnya mobil warna putih yang dikendarainya melaju perlahan. Kemacetan di belakangnya pun terurai, tapi tidak dengan benang kusut dalam kepalanya. Dia butuh pelampiasan, maka sebuah nama dia hubungi lewat ponselnya.

"Kebetulan kamu telfon, Ji. Ke Bali, yuk! Cari pacar!"

Iya, kebetulan! Aji menarik senyum simpul. Otak kusutnya butuh penyegaran. "Aku langsung ke tempat kamu sekarang juga," jawabnya menyeringai.

Meski jauh di pikirannya dia sedang memikirkan neneknya yang mungkin akan marah padanya. Tapi setan dalam dirinya sedang mengajaknya bergentayangan mencari pelampiasan. Itu yang lebih ingin dia turuti, karena dia butuh obat untuk lukanya yang diam-diam terbuka.

Sebelum pergi mencari kesenangan, sebuah pesan suara dia kirimkan untuk adiknya.

"Aku ke Bali."

***

Satu persatu anak jalanan yang belajar di madin, telah meninggalkan area masjid. Suasana lengang yang tercipta membuat Adinda menyadari kesedihan yang Samara coba sembunyikan sejak kepergian cucunya lantaran marah dan Adinda sadar betul bahwa dialah penyebabnya. Aji memang bersumbu pendek, gampang tersulut emosi lalu terbakar.

"Maafin Adinda ya, Nek." Gadis pecinta gamis warna hitam polos itu sedang berjongkok di depan majikannya yang sudah berusia senja itu. "Tuan Aji pergi karena saya lancang."

Samara membalas genggaman tangan Adinda seraya tersenyum, "kamu tidak salah. Tapi tahu kah kamu, sudah sangat luar biasa sekali Aji mau duduk di sini meski sesaat. Biasanya dia akan langsung putar balik andai tahu aku membawanya ke masjid."

"Kenapa seperti itu?"

"Dia sedang marah dengan Tuhan, katanya."

"Astaghfirullah," Adinda merasakan gelenyar aneh setelah permohonan ampunnya. Bagaimana bisa seorang manusia biasa marah pada Sang pemilik bumi dan langit beserta apa yang ada di antara keduanya? Terlalu berani atau keterlaluan, itu namanya? "Padahal dia dulu orang yang baik."

"Apa, Din?" Samara mendengar jelas gumaman Adinda. "Apa kamu pernah mengenalnya?" Dia terkejut tentu saja.

Adinda mendesah berat, lalu duduk bersila di lantai keramik teras madin. Dia punya rahasia, tentang dirinya dan Aji di masa lalu. Awalnya dia tak akan membagi kisah itu kepada siapa pun, karena ada perasaan tak benar di dalamnya.

"Dulu sewaktu Nenek masih hidup, kami berjualan di sebuah warung tenda di sekitar kampus. Tepatnya lima tahun lalu, ketika turun hujan lebat, ada sebuah mobil yang menabrak warung tenda kami. Warung kami hancur bahkan saya patah kaki yang cukup berat dan harus menjalani operasi."

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang