Betapa Aji menikmati tingkah malu-malu wanita yang kini jadi istrinya, meski jantungnya juga sama berdebar tak karuannya. Adinda yang berada di depannya ini, seperti bukan si tukang masak yang dikenalnya, seolah wanita itu menjelma menjadi orang lain.
"Apa benar ini kakaknya Zein?" tanya Aji dengan binar mata yang tak berhenti mengagumi ditambah senyum bahagianya.
Adinda masih menunduk karena hanya itu yang bisa dia lakukan. Seolah sekujur tubuhnya sedang kehilangan daya karena terhisap oleh rasa gugup. Kaitan jemari di pangkuannya adalah teman gugupnya malam ini.
"Jika tak berani melihat padaku, setidaknya jawablah. Ini benar Adinda, bukan?"
Adinda menoleh, sekuat keberanian dia bangun meski rasa malu luar biasa datang dan sekarang menyandera jiwa pemberani yang dimilikinya. "T-tentu saja ini, aku."
"Kok, cantik?" Aji yang sejak tadi hanya berdiri dengan tangan di kedua sakunya itu, kini mulai mengulurkan tangannya.
Adinda tahu, ini saat baginya untuk menyambut uluran tangan itu. Tangannya pun terangkat perlahan, jarak yang tak seberapa untuk sampai ke tangan Aji terasa amat jauh karena rasa malu, takut, dan tak terbiasa, bergelayut di tangannya. Jarak sudah terkikis, tinggal sedikit lagi tangan Aji tergapai, tapi Adinda malah menarik lagi tangannya kemudian dia kaitkan lagi dengan tangan satunya di pangkuan. Rasa malu lah yang menang.
"Kenapa?" tanya Aji tanpa rasa kesal macam biasa. Karena dia tahu, ini pertama kalinya Adinda akan menyentuh tangan lawan jenisnya. "Tanganku tidak beracun loh! Segitunya nggak mau pegang."
Adinda mendesah panjang, lalu dia himpun daya untuk bisa berdiri. Setidaknya bersikaplah sopan pada suami, tak adil rasanya karena dia sedari tadi hanya lengket dengan kursi.
Mereka pun berhadapan sebagai Tuan dan Nyonya Aji sekarang.
Aroma parfum Aji yang bisa Adinda cium menandakan sedekat apa jaraknya dengan pria itu. Bukan wajah Aji yang menjadi fokusnya, tapi malah telapak tangan yang tadi sempat terulur namun tak dia sambut. Lalu tangannya bergerak untuk mencoba menggapai.
Di sisi lain Aji pun tahu, Adinda ingin tangannya, jadi dia tak ingin ini menjadi mudah. Tangan kanannya pun lalu dia sembunyikan di balik punggungnya.
"Tuan!" Ups! Adinda salah ucap lagi. Itu terbukti saat Aji yang menautkan kedua alis tebalnya.
"Iya, Nyonya? Bisa dibantu?" Ah, Aji mulai menyukai ini. Adinda yang biasanya pintar menjawabnya kini lagi-lagi hanya bisa tertunduk, atau memilih buang muka dan memerahi pipinya yang sudah merah itu dengan rona tersipu hingga semakin merah.
"A-apa kita akan terus di sini?" tanya Adinda yang tak punya pelarian.
"Tentu saja tidak. Ngapain kita di kamar Putri? Atau kamu mau tidur di sini malam ini? Kalo begitu aku akan tukar kamar dengannya."
"Bukan itu. Maksud saya kita keluar saja buat ketemu--- em ... Nenek, Zein atau--"
"Stop!" Aji memegang dua bahu Adinda dan wanita itu jadi patung seketika. "Ada banyak yang harus kamu ubah. Kita sudah menikah, jika kamu panggil aku 'tuan' maka kamulah nyonyaku. Nyonya Aji. Paham?"
Adinda hanya mengiyakan dengan kedipan matanya saja, karena hanya itu yang sanggup dia lakukan, dan Aji pun sadar akan hal itu. Seketika pria itu tersenyum, "lucu banget sih, kamu! Bikin gemes sampai rasanya mau gigit!" Kemudian disusul tawanya yang membuat Adinda terpana akan suara tawa itu.
Lama-lama suara tawa itu terdengar aneh, hingga bisa Adinda lihat diam-diam Aji mengerjapkan kedua matanya. "Tuan, nangis?"
"Jangan cemas! Aku pun nggak ada maksud buat nangis. Rasanya ini tak sama dengan yang pernah aku rasakan saat jadi pengantin dulu. Maaf, karena harus bahas ini. Tapi, Adinda ... di sini," Aji membawa satu tangan Adinda ke dada bidangnya, "rasanya nyaman sekali meski debarannya tak wajar. Aku tahu ini bukan karena jantungku yang bermasalah, tapi karena kamu ada di dekatku. Sejak tadi, sebenarnya aku ingin mendoakan kebaikanmu dan sudah kuhafal doanya sejak beberapa hari lalu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Sepatu
RomanceAji Prabaswara adalah seorang duda yang berteman baik dengan alkohol. Hidupnya liar dan tak ingin menikah lagi. Suatu hari, datang tukang masak baru di rumah besarnya yang dipekerjakan oleh neneknya. Wanita cadel dan berkacamata besar bernama Adinda...