Mencoba Percaya

2.3K 315 51
                                    

Adinda berkerut kening saat mendapati Putri yang tiba-tiba masuk ke dapur. "Kok belum berangkat?" tanyanya.

Yang ditanya tak langsung menjawab pertanyaan itu karena mulutnya penuh dengan potongan Japanese roll cake rasa green tea yang bergambar cantik. Hasil pekerjaan tangan Adinda sejak pagi di dapur dengan bantuan dua asisten rumah tangga.

Ini hari yang Reza maksud, malam ini harusnya pria itu datang melamar si calon dokter itu. Tapi lucunya, Putri belum tahu akan hal itu. Karena Aji yang entah kapan bisa ikhlas memberi tahunya.

"Mama minta Kak Dinda buat ikut. Oma sudah telfon Mas Aji tadi," jawab si calon dokter setelah menelan makanan. "Ini enak! Ah tapi, semua yang Kakak buat emang enaaaak!"

"Denganku?" Rasa penasaran Adinda yang mengalahkan pujian dari adik ipar atas rasa kue buatannya.

"Jangan takut, meski galak Mama tak akan sampai memakan menantunya juga." Putri lantas tersenyum lebar. "Dia lagi sakit dan ingin aku ke sana mengajak kakak iparku yang cantik ini."

Adinda menelan saliva yang tiba-tiba terasa pahit. Terbayang jelas wajah mertua yang sekalipun tak pernah ramah padanya itu. Tapi hari ini akan ada pertemuan antara keduanya. Sedikit gemetar di hatinya tanda dia sedang mengkhawatirkan sesuatu.

"Tapi ngomong-ngomong, kenapa Kak Dinda membuat kue sebanyak ini?"

Pertanyaan yang menyentak lamunan si pembuat kue. "Akan ada acara malam ini. Makanya Oma memintamu tukar libur sama teman kamu, 'kan?"

Putri mengangguk paham tapi akhirnya dia bertanya, "acara apa? Kenapa aku tak tahu?" Tubuh rampingnya dia dudukkan di salah satu kursi dan akan melanjutkan potongan kue kedua. Tak menyadari raut wajah kakak iparnya yang kebingungan akan menjawab apa.

Hingga ...

"Mas Aji pasti tuh!" Yang Putri maksud adalah dering ponsel yang berbunyi di saku celemek yang Adinda kenakan. "Aku tebak dia akan mengeluh atas permintaan Mama."

Setelah mencuci tangan, Adinda menyekanya terburu-buru. Ingin segera menjawab panggilan telfon.

Benar kata Putri, nama Mas Suami yang tertera di layar persegi yang kini ditatapnya.

"Assalamu'alaikum, Mas."

"Wa'alaikumussalam. Putri sudah ngasih tahu kamu?"

"Sudah. Apa boleh?"

"Berat."

Adinda terkikik. Jiwa anak kecil yang bersemayam di diri Aji bangkit lagi. Terbukti dari nada satu kata yang terdengar menggerutu. "Apa yang kiranya membuat Mas merasa berat? Ceritakan, dan buat aku mengerti."

"Kamu tidak takut?"

"Takut apa?" Kekehan Adinda terdengar. Ya, walaupun hatinya gemetar karena undangan Masayu yang tiba-tiba.

"Mama tak akan ramah. Udah kebayang dia bakal sejutek apa. Rasanya nggak rela aja, istriku yang aku cintai digituin. Hah ... Andai Oma tak memohon dan aku nggak sedang rapat."

"Mas Aji lagi rapat? Kok telfon?!"

"Biarin. Mereka bisa nunggu. Din, coba lakukan sesuatu agar aku tenang dan ikhlas kamu pergi."

"Tapi diizinin, 'kan?"

"Iya, Sayang."

Putri yang tengah makan, melihat semburat merah di pipi kakak iparnya, juga gelagat salah tingkahnya. "Mas Aji, pipi Kak Dinda merah! Diapain tuuuuh?!"

Adinda yakin, kini Aji tengah menertawainya. Memang pria itu kini terdengar sedang tertawa. "Kata 'sayang' memang selalu bisa membuat pipimu merah. Aku akan sering memanggil kamu begitu, sayangku. Aku tak lupa bahwa aku memiliki istri yang mudah baper."

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang