Masayu tak sepenuhnya mengada-ada tentang sakitnya. Tekanan darahnya nyaris mencapai angka 200 ketika dokter memeriksanya semalam. Tanda bahwa pikirannya tak sedang kalem hingga tensi darahnya naik drastis.
"Obat penurun tensinya sudah Mama minum, belum?" tanya Putri dengan lembut pada wanita paruh baya yang masih cantik di sampingnya.
"Semalam aku meminumnya." Adalah Adinda yang Masayu tatap lekat tanpa keramahan sambil menjawab tanya sang putri. Tapi betapa herannya dia, wanita muda itu malah tersenyum padanya.
"Apa Mama kurang tidur?" tanya Adinda untuk pertama kalinya sebagai balasan untuk mertua yang tak ramah.
Mengangguk angkuh, Masayu kemudian menjawab, "putraku yang membuatku tak nyenyak tidur. Jika aku boleh tahu, mantra apa yang kamu berikan padanya? Sekarang Aji seolah bukan Aji."
"Mama, mantra apa sih? Mereka hanya saling mencintai." Putri menengahi, dia pun berdiri dari sofa lalu merangkul dari samping Masayu yang tengah duduk di sisi ranjang. "Mas Aji lebih manusiawi sekarang. Mama cobalah mengenal Kak Dinda, maka Mama akan tahu jawaban dari pertanyaan Mama tadi."
Tersenyum sarkas, Masayu menoleh pada Putri. "Kamu pun terlihat lebih sayang padanya daripada Mama."
"Putri sayang Mama selalu. Tak ada yang akan mengubah itu. Jangan berpikir buruk tentang apapun, istirahat lah jika lelah bekerja. Putri ingin Mama selalu sehat."
Di luar dugaan, Masayu menghela nafas panjang. Tanda dia amat lelah karena satu hal. "Kiara akhir-akhir ini membuat semuanya makin sulit."
Meski Putri tak paham akan arah pembicaraan sang ibu, dia hanya tersenyum lalu makin mengeratkan pelukannya. "Mama jangan sakit, ya."
Pintu kamar yang terbuka telah dimasuki oleh wanita cantik yang selama ini tinggal serumah dengan Masayu. Dengan nampan di tangannya, wajahnya tersenyum dengan begitu ramahnya. "Hai, Put! Akhirnya ada alasan buat kamu main ke sini ya." Dua cangkir teh, Kiara pindahkan ke meja, "minumlah selagi hangat."
Putri mengangguk lalu mengucap terima kasih pada mantan kakak iparnya. "Apa harimu buruk? Kak Kiara terlihat kurang tidur." Lingkaran hitam di area mata Kiara, Putri baca demikian.
"Kamu tentu tahu apa alasannya," senyum Kiara mengembang seiring pandangan yang dia arahkan tak lepas dari Adinda. "Hai! Ini pertama kali kita bertemu. Aku Kiara." Kiara berdiri lalu mengambil teh di meja untuk dia hantar langsung pada Adinda. "Minumlah, sebagai tanda perkenalan kita."
Adinda masih diam namun senyumnya terkembang dan teh itu pun dia terima.
Semua masih terasa normal, meski Kiara tak lepas memandangi Adinda dengan intens. Tak ada yang tahu bahwa pikirannya banyak mengumpat dan membandingkan antara dirinya dengan istri Aji itu. "Diminum dong, hormati tuan rumah," pintanya pada Adinda sebagai paksaan lembut darinya.
Merasa tak bisa mengelak, Adinda mulai menyesapnya. Lalu disusul Putri yang sudah duduk kembali ke sofa. "Aku minum ya, Kak," basa-basinya pada Kiara lalu menyesap teh buatan wanita yang dulu pernah menjadi ratu di hidup kakaknya itu. Sebenarnya dia ingin tinggal lebih lama untuk bertamu di rumah itu karena keadaan sang ibu. Tapi entah kenapa ini tak baik untuk Adinda, karena dua orang penghuni rumah itu seolah tak mencoba menyukainya atau bahkan sekedar pura-pura.
Putri akan bertahan sebentar lagi, dan dirinya berniat untuk memberi tahu Masayu tentang acara lamaran nanti malam sebelum pulang. "Ma, nanti---" Putri tak bisa melanjutkan ceritanya karena tiba-tiba badannya terkulai di sandaran sofa, dengan matanya yang terpejam.
"Putri!" Masayu panik dan seketika berdiri namun tubuhnya ambruk karena rasa pusing yang teramat hebat telah mengalahkannya. Disusul Adinda yang ingin segera memeriksa keadaan Putri yang tak sadarkan diri di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Sepatu
RomanceAji Prabaswara adalah seorang duda yang berteman baik dengan alkohol. Hidupnya liar dan tak ingin menikah lagi. Suatu hari, datang tukang masak baru di rumah besarnya yang dipekerjakan oleh neneknya. Wanita cadel dan berkacamata besar bernama Adinda...