Tersesat

3.1K 404 110
                                    

Jika merusak ponsel seseorang, bukankah mengganti dengan ponsel yang baru itu sudah setimpal. Tapi kenapa hanya sebuah benda tak berharga yang Aji rusak, Samara menginginkan dirinya menikahi pemiliknya.

"Seolah Aji telah merenggut kehormatannya saja, Oma." Keengganannya sudah dia utarakan pada wanita tua yang kini tengah terbaring lemah di tempat tidurnya.

Hanya ada mereka di sana, karena Aji menyuruh Putri untuk ke rumah sakit guna menjalani koasnya. Setelah diperiksa dokter keluarga, Samara hanya kelelahan saja.

"Kamu menolak?" tanya Samara dalam kepayahannya. "Kenapa?"

"Oma, lihat Aji siapa dan dia siapa!"

"Apa ini tentang martabat dan harta?"

Aji menghela nafasnya berat, juga rasa lelah yang kentara. Lelah untuk mengulang topik ini lagi dan lagi. "Bukan soal itu, Oma."

"Lalu apa ini soal usia?"

Aji menggeleng. "Aji cuma merasa, menikah bukanlah sebuah penyelesaian dari rasa kecewa dan sakit yang pernah Aji rasakan."

"Memang. Oma tahu itu."

"Bagaimana jika ternyata Aji tak bisa bahagia dan justru melukai wanita itu?"

"Hatimu ini," Samara mengusap dada cucunya dengan lembut seraya berkaca-kaca. "Bukalah untuk menerima, memaafkan, dan memulai sebuah ikatan baru. Jangan menghindar, apalagi mencari pelampiasan dengan cara yang salah. Maafkan Kiara, maafkan mamamu, juga papamu."

Aji menyeringai, "lagi-lagi Oma menyuruh Aji diinjak oleh mereka."

"Bukan seperti itu. Oma justru ingin kamu bangkit lagi, dan menjadi manusia lagi."

"Apa Aji ini setan?"

"Hampir seperti itu."

Kali ini Aji tertawa kecil, "kalo begitu, setan tak harus memaafkan, apalagi menikah."

Samara menoleh pada foto mendiang suaminya, lalu setetes air lolos mengalir dari sudut matanya. "Jangan sampai kamu merasakan apa itu menyesal karena salah mengambil jalan. Sesuatu yang kamu kira bisa membuat kamu bahagia, ternyata itu hanya kesalahan yang tak akan bisa kamu perbaiki lagi di masa yang akan datang. Adinda, mungkin adalah kiriman Tuhan yang mungkin bisa membuka hatimu untuk merasakan cinta lagi, juga membuatmu hangat kembali."

"Aji belum bisa menemukan alasan, kenapa harus dengan Adinda? Kesannya Oma itu maksa Aji buat sama dia!"

"Apa kamu akan percaya jika oma bilang bahwa dia berasal dari masa lalu kamu?"

Aji terdiam dan nampak mencerna. Masa lalu yang mana? Pikirnya.

"Maksud Oma, kami saling kenal?"

"Cari tahu jika kamu ingin menemukan jawabannya. Datang ke rumahnya, dan minta maaf lah. Kamu dulu orang yang baik, pria yang berhati hangat. Adinda, meskipun kamu sejahat itu padanya, baginya kamu masih baik, sama seperti dulu."

Maka Samara pun berhasil membuat rasa penasaran Aji tumbuh dengan liar dan tak tertahan. Setelah terlebih dahulu mampir ke toko ponsel untuk membeli satu produk keluaran terbaru, mobilnya kini melaju ke masjid yang dia datangi kemarin.

Seperti dugaannya, Adinda benar berada di sana. Tapi entah kenapa dia lebih memilih menunggu di mobilnya saja sambil mengamati kegiatan belajar mengajar di madin.

"Mata empat, hidung pesek, bilang R juga nggak bisa. Apa bagusnya dia? Cantik juga, tidak!" hasil pengamatannya tentang sosok yang menjadi alasannya berada di sana. "Hah, satu lagi. Sok alim!"

Meski hanya dari jauh, tapi Aji bisa jelas melihat bahwa Adinda suka sekali tersenyum. "Iya, dia juga sok kuat. Padahal hidupnya susah, tapi berlagak keren dengan menjadi pengajar gratis anak-anak jalanan itu. Ya ampun, jika dia malaikat tapi kenapa tidak cantik?"

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang