Filosofi Sepatu

3K 409 54
                                    

Aji ikut berjongkok pada akhirnya, karena tak ada reaksi dari Adinda. Angan miliknya sebelum melihat respon gadis itu, adalah Adinda akan merengek kecil kemudian memakinya. Bukannya malah diam seperti sekarang.

"Apa tidak ada hal yang ingin kamu sangkal? Karena sepertinya aku tak berhasil membuatmu kesal. Tapi, aku sedang ingin menuntutmu sesuatu, agar aku bisa tidur nyenyak malam ini." Aji dengan seksama melihat sekecil apapun gerakan dari Adinda.

Bukannya menjawab, Adinda malah tiba-tiba berdiri lalu meninggalkan Aji begitu saja untuk menuju sepedanya.

"Cadel! Ngeselin ya, kamu!"

"Situ yang mulai duluan!" Adinda abai dan mendirikan sepedanya kembali. Dia putuskan akan menuntunnya sampai ke bengkel yang nanti akan dia lewati, berharap tempat reparasi itu masih buka. "Permisi, Tuan Aji. Saya mau pulang." Debaran di dada mulai kurang ajar, jadi segera lari adalah jalan pintasnya.

Aji menghalangi jalan lagi. Rasanya dia sudah menurunkan level keangkuhannya karena seperti sedang memohon saat ini. Harusnya keinginannya bisa dituruti. "Bisa kita bicara sebentar?"

"Sudah sejak tadi, 'kan? Ini sudah malam, saya harus pulang karena adik saya bisa cemas jika saya pulang telat."

"Zein akan baik-baik saja."

Adinda melotot tak percaya. "Bagaimana Tuan bisa tahu tentang Zein? Tuan nyuruh orang mata-matain kami, ya?"

Aji terkikik. "Mentang-mentang pengarang novel. Seenaknya saja ngarang cerita. Tak perlu menyuruh siapapun, karena aku bisa sendiri mencari tahu tentang kamu."

Mata Adinda terpejam erat sambil mengeratkan gigi. Rupanya Aji sudah tahu dirinya terlalu jauh. Bahkan profesinya yang dia sembunyikan pun dia sudah tahu. "Mencari tahu yang seperti apa?" tanya gadis itu begitu membuka matanya. Emosi yang sempat ingin mencuat berhasil dia redam sempurna. Adinda ahli dalam hal itu.

"Aku datang ke rumah kamu. Kata Oma, aku disuruh datang ke rumah buat melamar kamu. Tapi, kamu nggak ada."

Adinda akan mengingat tanggal hari ini. Betapa hal luar biasa telah terjadi sejak pagi hingga malam ini. Dia sudah seperti seorang tokoh utama dalam novel saja, saking susahnya akal untuk menerima bahwa ini nyata adanya.

"Aku juga mencuri satu dari sekian banyak kartu di laci kamarmu. Boleh aku tau, kenapa kamu masih menyimpan itu semua?"

Lagi-lagi Adinda takjub. Majikannya yang satu ini, sangat menyebalkan sekali, bukan? Apa dia perlu lapor polisi?

"Itu karena saya ingin." Terdengar ketus sekali jawaban itu.

"Hanya sekedar ingin? Bukan istimewa atau berharga?" tuntut Aji.

"Apa saya harus jawab?"

"Harus. Karena kamu membuat aku terpaksa mengingat masa lalu yang sudah aku kubur dalam. Ada banyak luka yang terbuka karenamu. Aku menuntut kamu mengobati itu."

Cukup lama Adinda berteman dengan asumsi dalam pikirannya tanpa ingin menuangnya lewat kata. Dua orang itu kini tak saling bicara hingga akhirnya Aji berbalik untuk pergi.

Ego sudah dia turunkan, tapi tak ada hasil. Buat apa juga? Bisa-bisa dia berubah jadi monster lalu mengamuk gadis bergamis hitam di depannya ini.

"Om Baik!" panggilan itu terdengar juga dari Adinda. Langkah Aji pun berhenti meski enggan berbalik badan. "Sejak lima tahun lalu, saya mendoakan kebaikan dan kebahagiaan anda."

"Tuhan tak mendengarmu." Aji berbalik badan lalu keduanya saling pandang.

Tanpa sepengetahuan Aji, Adinda tengah mengeratkan genggaman tangannya pada sepeda. Hatinya berdebar tak karuan, karena Aji memang tersimpan di sana sejak lama. Jika dia mundur, maka dia akan terjebak dalam rasa yang entah apa namanya itu selamanya. Ini keadilan yang tengah dia buat sendiri untuk hatinya. Entah berakhir baik atau justru sebaliknya.

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang