Ketahuan

2.7K 397 79
                                    

Mobil sudah berhenti di garasi besar rumahnya, bukannya turun Aji malah bersandar penuh di kursi kemudinya. Cukup lama dia di sana terdiam dengan posisi itu karena pikirannya masih mencerna fakta yang baru saja dia ketahui. Tentang Adinda, si gadis remaja yang dulu dia biayai sekolahnya sebagai wujud tanggung jawab atas perkara yang ditimbulkan oleh mantan istrinya. Tapi kini sudah menjelma menjadi wanita yang sama sekali tak dikenalinya meski sudah beberapa hari ini melihatnya.

Pikiran Aji menjelajah ke masa lima tahun silam. "Saat itu aku masih seorang manusia," gumamnya lalu menjatuhkan kepalanya di kemudi. Terlalu banyak tanya yang timbul setelah fakta itu terungkap.

Kenapa Adinda tiba-tiba bisa masuk rumah ini?

Kenapa Samara menyuruh Aji menikahinya?

Juga, kenapa Adinda masih menyimpan kartu-kartu darinya itu?

Pria itu mendesah berat, lagi dan lagi. Tanpa ada reka jawaban yang pas dan cukup masuk akal baginya. Hingga kaca di sampingnya diketuk oleh seseorang.

"Turun!" kata si pengetuk yang ternyata adalah Putri yang juga baru saja pulang.

Aji langsung menuruti pinta adiknya itu dengan wajah malasnya. Putri pasti menanyainya.

"Tumben udah balik?" tanya Putri yang menjadi pembenaran tebakan Aji.

"Kamu nanya gitu, artinya kamu senang atau sedang ngeluh?"

Putri tergelak, lalu memeluk satu lengan Aji dan menggiringnya masuk ke pintu yang menghubungkan garasi dengan bangunan utama.

"Tentu saja aku senang! Lelahku seketika hilang begitu melihat mobil Mas Aji."

"Kamu nikah sana! Biar ada yang bisa selalu temani kamu di rumah."

Saran yang malah membuat Putri memukul lengan kekar itu. "Sama siapa? Lagian kalo aku nikah sekarang, kasihan suamiku karena aku seringnya tidur di rumah sakit. Bagaimana kalo Mas Aji dulu aja yang nikah? Biar betah di rumah."

"Ngawur kamu! Tadi jadi ketemu Mama?"

Ekspresi Putri berubah ketika Aji bertanya soal pertemuannya tadi dengan wanita yang melahirkan kakak beradik itu. "Jadi," jawabnya terdengar lelah. "Masih membahas hal yang sama. Bukan soal kita atau keluarga kita, tapi soal kasusnya dengan perusahaan Mas juga soal uang. Kita ini, anaknya bukan sih, Mas?"

Aji tersenyum, lalu gantian merangkul pundak adiknya. "Tentu kita anaknya, di kartu keluarga tertulis begitu. Tapi cuma sebatas itu. Dia cuma melahirkan, lalu dia biarkan tumbuh sendiri."

"Kok terdengar miris, ya?"

"Memang seperti itu adanya." Aji lalu mengambil udara sebanyak mungkin untuk dia hirup, "maafin, Mas."

"Kenapa?" tanya Putri dengan mulut cemberutnya.

"Aku pun sama buruknya dengan Mama."

"Tapi setidaknya, Mas Aji selalu ada buat aku."

Aji tergelak, "aku baru sadar kalo kamu nggak punya satu pun teman."

"Mas nggak tau, 'kan? Aku punya sekarang. Tapi lagi nggak bisa dihubungi. Entah kenapa nomornya tidak aktif."

"Yang kata kamu teman online itu?"

"Iya. Udahlah, aku laper banget. Cari Dinda, yuk!" Putri menarik Aji dengan laju yang lebih cepat.

Dalam langkah yang kian masuk rumah, Aji seperti sedang terbang dengan debaran yang entah disebabkan oleh apa. Apa karena baru saja Putri menyebut nama Adinda? Mungkin saja begitu.

Lalu ketika tinggal berapa langkah lagi kakinya masuk ruang makan, Aji berhenti. "Aku mandi dulu saja. Kamu duluan."

Tanpa merasa curiga Putri mengangguk saja lalu masuk ke ruang makan. Sepeninggal adiknya, Aji mendesah berat lalu mundur perlahan.

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang