Pencemburu

3.3K 407 38
                                    

"Kak Dinda!" suara Zein yang diselingi ketukan pintu. "Kak!" ulangnya.

Maka Aji pun berdecak karena Adinda malah tertawa. "Pakai kaosnya, Mas. Aku akan buka pintu. Abis itu kita sarapan," pintanya pada sang suami sambil tersenyum.

"Iya, Zein!" Adinda tak membuang waktunya untuk segera membuka pintu. Dilihatnya sang adik sudah berdiri di depan pintu kamarnya pagi ini dengan setelan lengkap seragam sekolahnya.

"Ada telfon, nih! Dari Bi Lela. Aku sarapan dulu." Zein hendak berbalik setelah mengutarakan maksudnya menggangu sepagi ini, tapi Aji memanggilnya. "Iya, Mas Aji?"

"Apa perutmu baik-baik saja? Tidak kaget karena makan mie instan semalam?" Entah itu kekhawatiran atau sedang mengurai kesal karena pemuda enam belas tahun itu yang telah mengganggu pagi harinya.

"Tidak. Aku baik-baik saja." Zein mengelus perutnya yang rata.

Aji berjalan mendekati pintu, membelakangi Adinda yang tengah berbicara dengan tetangganya yang disertai tawa kecil. "Bi Lela, ada perlu apa dengan kakakmu?" tanya Aji pada murid SMA itu.

Mengangkat bahunya sebelum menjawab tanya Aji, "sepertinya dia terkejut soal pernikahan kalian."

"Dia bilang sesuatu padamu?"

"Hanya bertanya tanpa jeda dan sepanjang kereta. Apa kami baik-baik saja dan semacamnya. Juga apa Mas Aji galak? Semacam itulah. Aku udah kebayang sama wajahnya yang panik." Gelengan kepala tanda bahwa Zein sedang heran dengan sikap tetangganya yang baik hati itu. "Mas Aji udah sarapan?"

"Belum."

"Temenin, yuk! Jangan nguping pembicaraan istri."

Aji terkekeh, dan kesalnya malah tak tersisa saat dia digurui begitu. Kakinya pun menuruti apa yang dipinta adik iparnya lalu merangkul pemuda tanggung yang tingginya hampir menyamainya itu. Masih dengan kain sarung yang melekat sebagai setelan kaosnya.

"Nanti malam, kami akan pergi ke pesta ulang tahun Pak walikota. Apa kamu mau ikut?"

Zein menggeleng. "Pasti yang datang orang kaya semua. Nggak, ah! Nggak semua orang kaya kayak Mas Aji."

"Memangnya apa yang membedakan kami?"

"Mungkin hatinya. Meski nggak semua orang kaya itu sombong, tapi aku orang kecil yang udah ngerasa kecil. Minder kalo dekat-dekat."

"Jadi, kelak jadilah orang besar yang baik hati."

Zein malah tertawa. "Aku aja masih bingung mau jadi apa nanti. Karena awalnya, sudah tak yakin bakal bisa lanjutin ke sekolah tinggi meski Kak Dinda pasti akan mengusahakan itu. Tapi dari dulu, sesuai pengalaman hidup juga. Aku ini berotak pintar, tapi sering kalah peluang dari orang yang punya uang."

"Rupanya kamu punya jiwa psimis gitu juga, ya. Kayak bukan kamu banget, Zein."

"Apa Mas Aji masih ingat soal anak Kapolsek itu?"

Aji mengangguk, dan keduanya sudah menuruni tangga. "Apa dia masih merundungmu?"

"Masih. Tapi jangan kasih tahu Kak Dinda, ya. Dia akan sedih nanti. Aku bisa jaga diri. Tenang saja."

"Aku akan urus itu. Bapaknya harus tahu soal ini."

"Aku rasa itu tidak perlu. Ini urusan kami, jadi Mas Aji jangan ngadu ke bapaknya lah. Kesannya aku lemah. Nggak gitu, ya. Aku cuma malas berantem aja."

Zein terdengar menggerutu dan itu menggelikan bagi Aji. Pria matang itu lantas tertawa. "Ini bukan aduan. Tapi pembelaanku pada adik kecilku ini."

"Aku bukan anak kecil, Mas Aji. Tenang aja. Aku bisa jaga diri. Ini cuma proses, semua remaja mengalami itu. Anak kecil aja suka berantem sama temannya, 'kan? Kami pun begitu."

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang