Media online dan televisi nyaris menayangkan berita yang sama. Sebuah mobil putih seharga milyaran ringsek di bagian depan akibat kecelakaan di tol. Reza Bramantyo adalah satu-satunya penumpang di dalamnya. Dia yang seorang cucu dari pengusaha ternama tanah air, otomatis menjadi buruan penulis berita.
Bahkan Aji Prabaswara ikut cemas, sampai acara menginapnya harus dia batalkan. Dia pulang setelah makan malam, dan tak jadi memberi kejutan lanjutan pada sang istri.
Kekhawatiran itu bukan hanya tertuju pada si korban, tapi Putri juga. Sejak mendengar kabar kecelakaan itu, adiknya tak mengangkat panggilan telepon darinya. Lalu dia pun teruskan dengan bertanya pada Samara.
"Putri keluar, tapi tak pamit akan ke mana." Itulah keterangan sang nenek. Tebakan Aji, adiknya itu pergi ke rumah sakit di mana Reza dilarikan pasca musibah yang menimpanya.
Malam kian larut, Aji lirik istrinya yang setengah mengantuk di kursi penumpang. Mobilnya melaju menuju rumah sakit. "Tidur lah! Kamu terlihat sangat mengantuk, Adinda."
Wanita berkerudung hitam yang teramat dia cintai itu menoleh seraya memberi senyuman pada si sopir. "Kelihatan ya, kalo aku ngantuk?"
Tangan Aji mengusap kepala istrinya dengan lembut lalu balas memberi senyum. "Ini sudah lewat jam tidurmu, Sayang."
"Pengen nemenin Mas Aji berkendara."
"Jangan memaksakan diri. Perjalanan kita masih lumayan jauh."
Adinda menyamankan posisi, kursinya memang sudah disetel agar dia bisa nyaman menjemput mimpi. "Terima kasih buat makan malamnya. Biasanya cuma nulis, tapi tadi beneran aku merasakan makan malam romantis sama pacar halal. Aku suka."
"Beneran kamu suka?"
"Tentu saja, Mas."
"Kita akan sering melakukan itu." Lalu Aji mendesah, "harusnya kita bulan madu. Tapi banyak hal yang terjadi dan Baim juga harus pergi, aku harus menyesuaikan diri dengan banyak hal setelah kepergiannya."
"Menikah tak harus bulan madu, 'kan?" Suara Adinda kian parau. Dia sangat mengantuk memang.
"Tapi pengen. Jalan-jalan itu perlu, biar ada yang bisa nanti aku ceritain ke anak-anak. Nanti dikiranya ibu mereka tak pernah aku ajak jalan-jalan."
Lagi-lagi anak, Adinda tahu betul bahwa Aji memang sudah sangat ingin menjadi seorang ayah. Apa Adinda perlu mengatakan bahwa, sejak menikah dia hanya sekali mendapatkan periodenya? Aji pun tak sadar akan hal itu.
"Apa Reza terluka parah?" tanya Adinda agar topik pembahasan berganti.
"Entahlah. Mobilnya sampai rusak begitu, semoga dia baik-baik saja."
Itu juga harapan yang terangkai dalam hati koas cantik yang kini tengah jadi tatapan orang-orang di rumah sakit. Beberapa orang mengenalnya, mengingat dia adalah seorang dokter muda di sana.
"Put, ngapain di sini? Bukannya kamu masuk pagi tadi?" tanya wanita bersnelli yang nampak khawatir pada rekannya. Putri duduk diam dengan lelehan air mata. Duduk di ruang tunggu tanpa teman.
Sejujurnya, dia bingung harus mulai darimana untuk mengurai kekhawatiran yang bersarang di benaknya kini. Ingin bertanya ini itu perihal Reza, tapi ada rasa sungkan karena dia bukan siapa-siapa pria itu.
"Apa ada keluargamu yang sakit?" tanya rekannya lagi.
Putri menggeleng lalu menegakkan punggung. "Kamu dengar berita kecelakaan di tol tadi?"
"Iya," jawab wanita berkacamata itu seraya mengangguk. "Korbannya adalah cucu pemilik rumah sakit ini."
"Oh," respon singkat yang mewakili keterkejutan akan jatuh diri Reza. Putri tak tahu soal itu. "Apa lukanya serius?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Sepatu
RomanceAji Prabaswara adalah seorang duda yang berteman baik dengan alkohol. Hidupnya liar dan tak ingin menikah lagi. Suatu hari, datang tukang masak baru di rumah besarnya yang dipekerjakan oleh neneknya. Wanita cadel dan berkacamata besar bernama Adinda...