Projek Surga

3.2K 427 109
                                    

Adinda pulang kerja dengan perasaan tak menentu. Senang dan kaget bercampur menjadi aura merah jambu. Sekuat tenaga dia tahan senyum yang berkali-kali mendesak keluar, karena dia hanya duduk di dapur sendirian guna menunggu Zein pulang dari masjid. Jika ketahuan adiknya, dia bisa dikira gila atau aneh andai melakukan itu. Tidak mungkin 'kan, sepiring samosa di meja yang mengajaknya tersenyum? Maka tahanlah dan sembunyikan senyum kamu, Adinda. Meski hatimu tengah berbunga.

Malam ini dia tidak membuat kue, karena ponselnya mati orderan pun sepi. Rintik hujan di luar, membuat hawa lain yang tak seperti malam kemarin. Mungkin kemarau akan berakhir, mengingat akhir-akhir ini sering turun hujan.

Suara salam menyentak lamunan yang tengah mengembara tinggi di angan. Adinda menjawabnya, tak lama kemudian muncullah wajah tampan adiknya setelah tirai penyekat ruangan tersibak.

"Jika baju kamu basah, ganti baju dulu sana. Setelah itu baru kita makan." Adinda mengamati Zein seksama, koko putih dan sarung hitamnya masih nampak kering. Hanya kaki dan sandal jepitnya saja yang nampak basah bercampur sedikit tanah. "Baju kamu tak basah, kok bisa?"

"Aku pakai payung masjid."

"Dengan bersepeda?"

Zein meringis. Perihal sepedanya yang hancur bagaimana memulai cerita pada kakaknya ini. Tapi tetap harus cerita karena besok Adinda akan tahu kalau hanya ada satu sepeda di rumah.

"Zein mau cerita, tapi kakak jangan marah, ya."

"Apa itu?" Tubuh Adinda condong ke depan agar bisa jelas mendengar cerita adiknya.

"Tadi di sekolah ada tragedi lalu sepeda Zein rusak parah. Kata Mas Aji suruh tinggalin aja, jadi aku tinggal aja di pinggir jalan."

"Kok ada dia? Maksud dari tragedi itu, apa dia berulah di sana?" tanya Adinda tak santai.

"Bukan." Dua tangan Zein bahkan melambai cepat tanda bahwa Adinda salah besar. "Justru Mas Aji yang nolongin Zein. Dia keren tau Kak, tau-tau dateng kayak pahlawan. Ough! Berasa jadi punya kakak laki-laki."

Adinda melipat tangan di atas perutnya sambil menggoyangkan kakinya yang berselonjor menyentuh ubin. Rupanya pria itu sudah menyusup terlalu jauh di hidupnya. Dia benar-benar datang ke sekolah adiknya.

"Jadi, dia beneran datang ke sekolah?" Hati-hati sekali Adinda mengucap tanya itu. Belum apa-apa jantungnya berdebar tak wajar lagi. Makin ke sini, organ yang satu itu bekerja di luar kendali. Selalu begitu jika menyangkut Aji.

Zein pun mengangguk cepat.

"Ngapain?"

"Tebak coba!"

Melamarku? Itu hanya tanya Adinda yang bersuara di hatinya. Sedangkan jawaban untuk Zein hanya kedua bahunya yang terangkat saja. Dia tak mau adiknya menertawai jawabannya yang dia sembunyikan rapat tanpa suara.

"Kak Dinda pasti kaget! Secara Zein juga."

Oke. Zein sukses membuat jantung Adinda menggedor dada. "Jangan berbelit. Langsung katakan saja, Zein." Terdengar tak sabar.

Zein malah tertawa lalu memicing menggoda. Sesaat tadi dia lupa, bahwa pria yang sedang dia ceritakan adalah pria yang disukai kakaknya. "Kakak sedang berharap apa, sih? Kenapa tegang gitu? Orang Mas Aji minta diajarin ngaji."

"Ngaji?"

"Iya. Mulai besok aku tidak ke Abah Hasan lagi. Zein resign dan bakal digantiin sama Antok. Abah juga udah setuju, karena niat aku baik. Mengajar orang mengaji dan nolongin Antok yang lagi nyari tambahan. Tau nggak, Kak?"

"Nggak tau!"

Zein terkekeh. "Ih, kok jutek gitu. Aaah, pasti mikirnya tadi dia datang melamar, ya?"

"Bodo! Buruan makan! Kakak mau tidur cepat."

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang