Harus Sembuh

3.4K 391 39
                                    

Usai sholat subuh, Adinda sudah siap untuk pergi dinas. Dia memastikan sekali lagi bahwa semua kue pesanan kemarin sudah bisa diantar oleh Zein hari ini sembari berangkat ke sekolah nanti. Adiknya itu pun belum kembali dari masjid, jadi dia akan menunggunya di teras saja.

Tak lupa membaca doa keluar rumah agar diberi petunjuk, dicukupkan, dan dijaga dari keburukan oleh Allah SWT. Begitu membuka pintu, dia terlonjak. "Bi Lela, ngagetin tau!" ucap Adinda sembari memegangi dadanya. Rupanya Lela yang datang masih mengenakan mukena warna putih dan berkalung tasbih, serta menenteng sajadah di tangan kanannya. "Ada apa, Bi?" Cukup mengejutkankan memang, karena suasana di luar masih gelap gulita.

Lela malah memukul lengan Adinda, "ngagetin aja, kamu!"

"Kok, Dinda? Aku aja hampir jantungan. Bibi, kenapa kemari sepagi ini? Dari masjid, ya?" Adinda menggiring Lela untuk duduk di kursi kayu panjang yang ada di teras rumahnya yang disinari lampu berwarna orange.

"Kamu mau berangkat kerja?" tanya Lela tanpa repot menjawab pertanyaan Adinda terlebih dahulu. "Kamu betah? Nggak disuruh yang aneh-aneh, 'kan? Udah ketemu Aji?"

Adinda hanya mengerutkan keningnya. "Bi Lela, kenapa?"

Kemudian Lela menghembuskan nafasnya berat. "Aku semalam nggak bisa tidur mikirin kamu, Din. Tadinya aku bawa kamu ke sana, biar kamu bisa dapat gaji besar tiap bulannya. Biar Zein bisa sekolah tinggi, seperti yang kamu mau. Tapi sekarang aku malah ketakutan sendiri. Aku khawatir Nyonya akan menyuruhmu menikah dengan cucunya yang duda itu."

Tawa kecil Adinda mengudara, merasa lucu karena rasa khawatir Lela telah benar dialami Adinda kemarin. "Dinda memang ditawari menikah dengan Tuan, Bi."

Lela menoleh dengan matanya yang melotot sempurna. "Kamu mau?" tanyanya tak sabar.

"Untuk sekarang sih belum."

"Adinda, apa maksud kamu dengan belum? Jadi ada kemungkinan kamu bakal menerima?"

Adinda merangkul wanita tua yang sudah seperti nenek baginya itu. "Bi Lela, hati kita milik Allah. Jika sekarang aku bilang, nggak mau tapi ternyata Allah menggerakkan hati ini buat menerima, bagaimana?"

"Yaa Allah, anak ini! Din, dia itu suka mabuk."

"Dinda tahu, Bi. Kemarin aku juga sudah kena semprot. Orang mabuk itu hilang akal, jadi anggap saja dia nggak sengaja."

"Nggak sengaja apanya? Gimana nanti kalo dia nubruk kamu?! Dia duda! Yaa Allah, pikiran aku malah jadi ngelantur kemana-mana." Lela memukuli pelipisnya sendiri yang justru disenyumi oleh gadis 21 tahun yang tengah dia cemaskan itu. "Kamu mundur saja. Jangan kerja di sana!"

Adinda mengeratkan rangkulannya, lalu dengan tangannya yang terbebas dia menggenggam tangan keriput tetangganya itu. "Dinda sudah berdoa. Allah akan menjaga anak gadis yang Bibi cemaskan ini. Jangankan manusia, setan pun tak akan bisa jahatin Dinda, Bi, setan pun nggak bisa. Seperti kata hadist, barang siapa yang saat keluar rumahnya mengucapkan, 'Dengan nama Allah, aku bertawakal kepada Allah, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah' maka akan dikatakan kepadanya, 'Engkau telah dicukupi, dilindungi, dan syetan pun menjauh darinya'. Tenang, Bi. Niat Dinda buat bekerja, Allah tahu itu dan Dia akan jaga."

"Anak ini benar-benar, ya," kata Lela dengan mata berkaca-kaca. "Hati-hati di sana ya, Din."

"Iya, Bi Lela." Adinda memeluk tetangganya itu, lalu terdengar suara Zein yang mengucap salam.

"Kalian kenapa pelukan?" tanya anak muda yang melepas pecinya itu.

"Nggak pa-pa," jawab Adinda lalu berdiri. "Kakak berangkat ya, Zein. Nanti jangan lupa antar kue-kuenya dan jangan lupa sarapan. Satu lagi, jangan tidur lagi!"

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang