Mad Arid Lisukun

2.8K 403 70
                                    

Berganti hari, Adinda kian dibuat tak mengerti. Aji mengiriminya bunga lagi, sejak hari itu hingga pagi tadi. Tapi sejak hari itu juga, batang hidung tuan rumah malah tak nampak di jarak pandangnya. Untuk sarapan, dia ditugaskan untuk memasukkannya ke dalam kotak bekal yang lalu akan Aji bawa sendiri saat berangkat ke kantor itu pun sopir yang bertugas memasukkan kotak bekal ke mobil yang akan Aji kendarai. Sedangkan untuk makan malam, ketika jam kerja Adinda sudah selesai Aji justru belum kembali dari kantor.

Apa coba arti dari sikap si tukang kesal itu? Jual mahal atau sedang menanam bibit rindu? Hanya Aji dan Tuhan yang tahu maksud di balik itu.

Sore ini madin diliburkan karena salah satu pengajarnya menikah di hari ini. Jadi Adinda akan datang memenuhi undangan yang sudah dia terima sejak seminggu lalu.

"Adinda!" Suara bariton menyeru nama gadis pecinta gamis warna hitam itu, termasuk baju kondangannya pun hitam. Rupanya itu Amir yang sudah kembali dari Surabaya.

"Kak Amir? Kapan pulang dari Surabaya?" tanya Adinda yang baru saja keluar pekarangan rumah sewanya.

Amir yang tengah mengendarai motor matic-nya pun mendekat saat langkah Adinda berhenti. "Semalam. Oh ya, Din. Kenapa nomor kamu tidak aktif beberapa hari ini? Aku telfon dan kirim pesan tapi nggak bisa." Amir nampak sudah rapi dengan setelan kemeja batik lengan panjang juga celana bahan warna hitamnya.

"Oh, ponselku rusak, Kak. Sekarang udah bener sih, cuma belum aku ambil dari tempat servisnya. Ada apa ya, Kak?" Adinda membenarkan letak kacamatanya lalu menunduk lagi. Rasanya kok dia seperti sedang diawasi oleh Aji saat ini.

Pengawasan Tuhan-mu yang harusnya kamu pikirkan Adinda. Batin Adinda menggurui.

"Ada urusan sama kamu. Dulu 'kan sebelum aku berangkat ke Surabaya sudah kasih tahu kamu. Lupa, ya?" Senyum Amir pun merekah.

"Oh, tapi dulu Kak Amir juga nggak bilang apa perlunya."

"Iya, sih." Amir tertawa kecil. "Oke. Lebih baik aku bilang sekarang saja." Pria itu berdehem kecil, sekedar memberi jalan untuk kalimat yang telah dia rangkai di pikirannya. "Adinda, nanti malam aku akan ke rumah, membawa orang tuaku buat melamar kamu."

"Apa?!" Keras dan jelas. Jantung Adinda pun berdetak cepat karena terkejut. "Melamar aku? Kak Amir?!" Pemastian Adinda untuk ketidakpercayaannya.

Anggukan Amir pun menjawab bahwa itulah kepastiannya. "Nanti malam. Ingat, ya. Ba'da Isya."

Amir akan menyalakan mesin motornya, tapi Adinda memanggilnya agar pria itu tetap di sana. Betapa rasa terkejutnya masih mendebarkan dadanya. Tapi tak boleh melamar wanita di atas lamaran pria lain, 'kan? Jadi dia harus bicara yang sebenarnya.

"Maaf sebelumnya, Kak."

Amir mengamati sembari menunggu jeda yang sedang Adinda ambil berakhir. Apa ada kabar buruk? Tanya yang terbaca di raut wajah berjenggot tipis itu.

"A-aku udah ada yang melamar, Kak."

"Eh? Beneran?" Wajah Amir berubah pias. Adinda bukan tipe gadis yang bercanda berlebihan. Jadi inilah alasan kenapa gadis itu banyak menunduk dan sedikit berbeda dari Adinda yang biasanya. "Oh, ini serius rupanya." Amir menghirup udara sebanyak mungkin, rasanya tiba-tiba ada yang menghambat nafasnya hingga dada terasa sesak. "Jadi aku patah hati karena terlambat." Sebuah senyum kecil untuk perayaan patah hatinya Amir terbitkan, tandanya dia masih kuat karena hantaman ini.

"Sekali lagi, aku minta maaf." Betapa tak enaknya membuat kecewa orang lain. Tapi memberi harapan, justru hanya menunda rasa kecewa yang lebih besar karena disertai rasa sakit yang teramat. Sudahlah, anak Pak Lurah ini barangkali jodoh orang lain. Andai teman-temannya tahu siapa yang baru saja dirinya tolak, dia akan diperkarakan banyak pihak. Entah dibilang bodoh, atau malah mereka akan sujud syukur karena pemuda paling diinginkan gadis sekampung tak jadi menggelar lamaran.

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang