Pasrah

2.1K 333 36
                                    

Earphone wireless terpasang di telinga untuk mendengar apa yang Reza katakan, sedangkan matanya fokus pada jalanan. Hati Aji sedang ada gemuruh disebabkan kabar buruk mengenai sang istri atas kelakuan mantan istri. Dia tahu betul rumah yang menjadi tujuan di mana Kiara membawa Adinda. Adalah rumah milik pria keturunan India yang terkenal dengan bisnis obat terlarang, perjudian, dan human trafficking.

"Ini bagaimana?" tanya Reza terdengar menuntut di ujung sambungan telepon sana. "Rasanya aku tak sabar jika harus menunggumu datang. Istrimu, Ji, dia mungkin---"

"Masuklah!" Ucapan pasrah itu akhirnya terlontar juga. Mungkin tadinya, Aji berharap dia sendiri lah yang akan menjadi ksatria bagi sang istri. Tapi Reza benar, ini bukan saatnya untuk bercita-cita berlebihan. Keselamatan Adinda adalah yang utama. "Tolong, Za."

"Baik! Tapi usahakan cepat datang, ya. Aku tak terlalu kenal dengan orang-orang di sana. Tapi semoga nama kakekku bisa membantu."

"Hati-hati lah." Panggilan terputus dan mata Aji basah. Rasanya sudah tak sanggup lagi menahan air matanya yang sepanjang jalan telah dia tahan. Seiring kecepatan kuda besinya yang dia tambah, teriring doa semoga istrinya baik-baik saja.

Lelehan air mata yang tak terbendung menandakan dia hanya manusia lemah yang tak akan bisa apapun tanpa restu Tuhan-nya. "Yaa Allah ... Oh, Allah ... Jangan Engkau timpakan balasan atas dosa-dosaku di masa lalu pada istriku. Dia hamba-Mu yang patuh. Jagalah dia di saat dia tak terjaga oleh siapapun."

Jalanan siang ini jadi saksi, kepasrahan seorang Aji Prabaswara.

***

Yang kalut bukan hanya Reza dan Aji, tapi Baim dan Raja yang mendapati Putri yang masih terpejam. Juga Masayu yang ...

"Tante! Tante, kenapa?" tanya Baim pada Masayu yang tampak sadar namun tak normal. Mulutnya penuh air liur dengan bibir yang nampak miring. Tanya Baim pun tak terjawab, dan pria itu bingung harus melakukan apa pada ibu sahabatnya itu.

"Dia sepertinya terkena serangan stroke, Im. Ayo buruan ke rumah sakit!" Keterangan Raja membuat Baim mencerna apa yang dia lihat.

Mata Masayu terbuka, tapi dia tak bisa bicara. Bahkan tangannya pun tak terangkat sempurna. Dia terlihat seperti ingin menyampaikan sesuatu tapi bukan kalimat yang terdengar, melainkan hanya suara tak jelas yang kian membuat Baim kalut.

"Ji, mama kamu, Ji. Kena karma deh, kayaknya."

"Baim, buruan!"

"Astaghfirullah." Baim lupa bahwa Putri pun sedang tak sadarkan diri. "Raja, kamu bawa Putri dulu ke mobil. Lalu kamu balik lagi ke sini, bantu aku bawa Tante Masayu. Kalo nunggu ambulance, bisa nambah lama!"

Raja yang bertubuh tinggi besar membawa tubuh lemah adik tirinya dengan kedua tangannya keluar kamar.  Dengan harapan, bahwa keadaan Putri tak separah Masayu. Sejak bicara dengan Aji tadi dan akhirnya berujung damai, dia pun ingin Putri memaafkannya juga. Memang hubungan yang terjalin selama ini di antara ketiga anak Prabu tak harmonis, tapi dia sedikit tahu kepribadian calon dokter itu. Putri tak seperti Aji yang mudah sekali kesal.

"Kamu anak baik, Putri. Jangan kenapa-kenapa, karena aku masih ingin menjadi kakakmu."

***

Rumah bercat putri nan megah itu tak cukup sulit ditembus jika yang datang dari kalangan atas. Apalagi nama belakang yang Reza sandang, penjaga gerbang segera tahu siapa pria berkulit sawo matang itu. Setelah melewati beberapa prosedur, mobil Reza pun masuk dengan mudah ke spot car nan luas di sana.

Menarik nafas dalam, lalu menyebut nama Tuhan-nya, Reza akhirnya turun dari mobil mewah yang berharga satu milyar lebih itu. Sepatu hitam mengkilatnya telah menapaki lantai yang sama mengkilatnya.

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang