Si Pengantar Pizza

2.8K 336 37
                                    

"Namaku Baim, rumah real estate
Mobilku banyak harta berlimpah
Orang memanggilku bos eksekutif
Tokoh papan atas, atas segalanya
Asyik!
Wajahku ganteng banyak simpanan

Sekali__"

Bugh!

"Kak Baim!" Panggil Zein pada Baim yang sedari tadi memetik gitarnya sambil bernyanyi. Tapi baru kali ini pria berusia tiga puluh lima tahun itu dilempar bantal oleh anak remaja.

Baim tertawa lalu menyandarkan gitar di dinding tepat di belakang sofa yang dia duduki di atas balkon. "Kamu kenapa, Zein?"

"Lagu lain 'kan ada. Kenapa harus bahas simpanan dan harta kekayaan?" Zein tengah bermain game online dengan ponsel Baim.

Keduanya kini sedang berada di rumah orang tua Baim, karena Kalina Agatha yang memintanya. Dengan dalih, ingin tahu seperti apa partner tinggal anak tirinya di Mesir nanti. Tapi Kalina sendiri malah tak sedang berada di rumah.

"Cuma lagu, Zein. Aslinya 'kan aku nggak punya simpanan." Tapi anak dari wanita simpanan.

"Lagu cinta 'kan banyak." Protes remaja itu tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel.

"Aku nggak lagi jatuh cinta."

Baru lah sekarang, Zein mau menoleh lalu keluar dari aplikasi. "Kak Baim bukan pedofil, 'kan?" Dia sangat berhati-hati menanyakan itu.

"Astaghfirullah. Ya, nggak lah! Penghinaan itu namanya."

"Aku cuma nanya. Karena sampai sekarang pun, aku masih nggak habis pikir, kenapa harus membawaku ke Mesir?"

"Buat jadi teman suka dan duka, juga menjadi tempat berkeluh kesah." Baim merangkul pundak adik ipar sahabatnya itu.

"Cari istri saja sana!"

Baim tergelak, lalu teringat pada sosok sahabatnya yang katanya sekarang sedang makan malam romantis bersama istrinya. "Jodohnya belum ada. Zein, kamu laper, nggak?"

Zein tak sempat makan malam saat tadi Baim datang menjemputnya. Jadi dia mengangguk mantap. "Pizza! Boleh?" tanyanya dengan semangat menggebu.

"Tentu saja!"

Zein bersorak senang, "akhirnya aku makan pizza!"

"Kamu belum pernah makan itu emang?" tanya Baim seraya meraih ponselnya.

"Kak Dinda melarang. Makan mi instan aja baru sekali, itu juga Mas Aji yang harus merayunya dulu."

Terkekeh geli karena tak habis pikir, Baim lalu berkata, "nanti saat bersamaku, cobalah apa yang ingin kamu coba. Asal masih dalam jalan Tuhan. Ajari aku untuk jadi kakak yang baik, ya."

Zein jadi sadar, bahwa Baim hanya kesepian. Di dalam rumah sebesar ini dia sendirian. "Kenapa tak terima usulku saja? Carilah istri, Kak. Nanti kalian akan punya anak, jadi hidup nggak akan sesepi ini."

"Nikah juga 'kan harus ketemu dulu sama jodohnya, Zein. Nanti pilihkan wanita yang tepat untukku. Lihat! Kalo cuma lapar dan ingin makan, lewat ponsel juga tinggal pilih. Tapi menikah tak semudah ini, ada sebuah ketakutan bahwa ternyata aku salah pilih. Contohnya Aji. Dia harus terluka parah saat istrinya bukan kakakmu. Andai itu aku, belum tentu aku mampu bertahan seperti si Aji dulu." Ponsel diletakkannya lalu pria itu berdiri.

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang