Cinta Di Ujung Rindu 11

711 33 1
                                    

"Bagaimana bisa kamu lupa menjemput kami, Chef?" Seorang pria dalam mobil sedang memarahi Rano yang tengah menyetir. Dialah sosok tuan muda pertama yang sejak delapan tahun lalu mengajak Zein tinggal di Mesir. Mereka memang tak ada hubungan darah sama sekali, tapi seiring berjalannya waktu dalam kebersamaan mereka, Baim dan Zein kini adalah sama-sama seorang tuan muda di keluarga Alatas. Artinya, keduanya sudah seperti kakak beradik yang sesungguhnya.

"Maaf, Tuan." Berkali-kali Rano hanya bisa mengatakan maaf yang sama sekali tak dimaklumi oleh Baim.

"Memang urusan Zein sejauh mana perkembangannya? Apa dia makin gila?" tanya Baim yang sepertinya akan terus mengomeli Rano. Padahal berkali-kali sang istri sudah mengingatkan soal darah tinggi yang akhir-akhir ini menyerangnya. Tepatnya semenjak Zein pulang ke Indonesia bersama tukang masak andalannya itu.

"Putrinya kecelakaan. Eh, maksud saya, putrinya Tiwi."

"Apa parah, Chef?" Namira__istri Baim lah yang bertanya dengan raut wajah cemas. Nalurinya mengiba mengingat dia juga punya anak seumuran Nada.

"Cukup parah, Nyonya. Tuan Zein sampai harus mendonorkan darahnya."

"Wow! Zein mengalirkan darahnya ke dalam tubuh anaknya Tiwi, sekarang tuh bocah jadi seperti anak Zein beneran dong!" Seru Baim mengheboh. "Dia belum tahu kalo aku pulang hari ini, 'kan?"

"Belum, Tuan. Sejak kemarin harinya cukup pelik terkait ibu satu anak itu, ditambah tuntutan Tuan dan Nyonya besar agar Zein cepat mengambil alih perusahaan."

"Iya. Biar dia saja, aku sudah cukup kerepotan ngurus perusahaan Papa yang di Mesir semenjak kalian pulang ke sini."

"Saya pikir Tuan akan marah soal keputusan itu." Tebakan Rano malah mendapat balas satu pukulan tak berarti di lengan kekarnya dari Baim.

"Aku bukan anak gila kekuasaan orang tuanya ya, Chef. Lagi pula aku percaya Zein bisa melakukannya. Aku mendidiknya dengan baik."

"Tuan Zein sudah menolaknya. Mau tak mau, Tuan Baim juga yang nantinya akan maju."

"Aku nggak mau! Aku pulang ke sini ingin liburan, malas mikir kerjaan. Juga mau mengunjungi sahabatku yang sekarang udah punya tiga anak. Aku ingin meledeknya soal ubannya yang pasti makin banyak!" Baim lalu tertawa begitu wajah Aji Prabaswara melintas di benaknya.

"Mas Baim, jangan terlalu keras tertawa. Sam lagi tidur." Paha Namira tengah menjadi bantal untuk anak laki-laki mereka yang bernama Abrisam Alhanan yang tengah terlelap.

"Aku kangen sama Aji, Sayang. Maaf jika aku terlalu keras tertawa." Baim menoleh sekilas ke arah istrinya lalu memberi isyarat kecupan lewat bibirnya. Serta merta hal itu membuat Namira mendelik kesal karena merasa malu pada Rano. Meski sopir kaku itu sudah sering melihat hal serupa.

***
Rupanya tak mudah bagi Zein untuk pamit meninggalkan Nada setelah anak itu terbangun. Nada bahkan sempat menangis kencang dan sukses membuat Tiwi khawatir pada jahitan bekas operasi di perut sang putri, lantaran ingin agar Zein tetap di sana.

"Tinggallah di sini sebentar lagi." Permintaan Tiwi itu memang tak lembut sama sekali, tapi Zein bisa tertawa kecil karenanya. Betapa banyak kemajuan interaksi mereka setelah beberapa saat mereka menghabiskan waktu untuk membahas masa lalu. Meski sama, Tiwi masih berkata bahwa dia membenci pria tampan yang mengajaknya menikah itu.

Zein yang sedang duduk di sisi brankar gadis cilik yang giginya ompong itu pun mengangguk. "Memangnya Nad maunya Ayah di sini sampai kapan?" tanya Zein lembut.

"Sampai Nad sembuh, Ayah," rengek si gadis cilik yang matanya masih saja basah itu.

Dahi Zein berlipat-lipat seolah tengah memikirkan cara agar dia bisa segera pulang ke rumah. Sepertinya ada hal yang penting tengah terjadi karena ponselnya beberapa kali bergetar dalam sakunya. Terlebih Rano yang tiba-tiba pamit untuk urusan mendesak dan meminta Zein untuk naik taksi saja jika ingin kembali ke rumah.

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang