Setelah puas menertawai kakaknya yang tengah kesal karena tertangkap basah sedang membahas nikah, Zein mengajak Adinda bicara. Dia memang masih di bawah umur, tapi dialah yang akan menjadi wali ketika nanti kakaknya itu menikah. Lagi pula, siapa calonnya juga harus dia pantau secara ketat jauh-jauh hari.
Kakak adik itu sudah duduk berhadapan di meja makan berbentuk kotak yang dikelilingi empat kursi. "Siapa dia, Kak?" tanya Zein. "Jangan bilang lagi kalo itu tadi cuma gumaman sepenggal cerita novel yang Kak Dinda tulis. Zein tidak percaya, karena wajah Kakak terlihat serius bukan menghalu."
"Ada."
"Ya, tentu saja ada makanya Zein nanya. Siapa orangnya? Apa yang ngasih kartu-kartu itu?"
Adinda menopang pipinya dengan dua tangan di atas meja, nampak enggan bercerita karena hatinya sedang tak karuan begini. Haruskah adiknya tahu sekarang?
Dilema ganda.
"Kita hanya hidup berdua. Kakak memiliki aku buat berbagi apapun, begitu juga sebaliknya. Ingat pesan Nenek, teruslah saling menyayangi sampai kita renta."
"Kamu sayang kakak dong berarti?"
"Ya, iyalah! Pakai ditanya."
Adinda terkekeh. "Bercanda, Zein. Tentu kakak tahu itu. Kakak juga sayang sama kamu."
"Nah, ini adalah wujud kasih sayang itu. Aku harus tahu, siapa pria yang bahas nikah sama Kak Dinda. Nanti Zain lah yang akan menikahkan Kakak," kata anak itu jumawa.
Adinda terkikik geli, namun hatinya tersulut rasa bangga. Bahwa Zein mengerti kewajibannya meski masih seusia segitu. "Sebenarnya, ini kisah yang panjang, Zein."
"Zein akan dengarkan. Kalo perlu kita bahas ini sampai subuh, karena Kakak akan menghabiskan waktu dengan orang itu sepanjang hidup. Ini sangat penting!"
"Dulu dia baik."
"Terus sekarang, nggak?"
"Dia hanya terluka terlalu sakit. Hingga sakitnya itu menghilangkan jiwa baiknya."
"Jadi, Kakak akan menikah dengan Fir'aun?"
Adinda ternganga, lalu dua detik saja dia akhirnya tertawa. Betapa kesimpulan adiknya bahkan tak pernah terpikirkan olehnya. Apakah Adinda nyaris menjadi budak cinta? Karena seolah buruknya Aji tidak pernah dia pertimbangkan.
"Fir'aun, apa siiih?"
"Ya, lalu apa sebutannya kalo dia bukan pria baik? Tau nggak, Kak? Zein pernah mikir gini, bahwa jodoh Kakak itu mungkin akan sebaik Kak Amir atau setipe lah sama dia."
Adinda makin dibuat takjub pada bocah kelas sepuluh itu. Lalu Adinda mendesah berat, untuk urusan hati ini cukup ruwet ternyata jika dibagi dengan kepala lain. Ini baru adiknya, belum lagi--, ah, siapa? Adinda memang cuma punya Zein saja di dunia ini. Jadi, pendapatnya harus sangat didengar dan dipertimbangkan.
"Tapi, bagaimana jika Kakak menyukai Fir'aun itu?"
Kini gantian Zein yang dibuat takjub kemudian mendesah berat. Apalagi ini sudah cukup larut dan biasanya mereka sudah mengistirahatkan lelah di atas pembaringan.
"Pikirkan lagi lah, Kak."
"Iya, ini Kakak sedang mengajak kamu berpikir. Haruskah berhenti, atau terus maju dan mencoba mencari tahu, apa yang sedang Allah ingin katakan pada Kakak? Kenapa dia hadir lagi, tapi dengan wujud yang berbeda?"
"Zein makin nggak ngerti."
"Kakak juga."
"Intinya, Kakak suka dia?"
"Hmm," Adinda mengangguk. "Sudah sejak lama tapi dia nggak tahu."
"Jadi benar, dia si pemberi kartu itu? Nenek bilang, dia orang baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Sepatu
RomanceAji Prabaswara adalah seorang duda yang berteman baik dengan alkohol. Hidupnya liar dan tak ingin menikah lagi. Suatu hari, datang tukang masak baru di rumah besarnya yang dipekerjakan oleh neneknya. Wanita cadel dan berkacamata besar bernama Adinda...