Aji Prabaswara

3.9K 458 30
                                    

"Kamu abis minum?" Samara mengernyit lalu menghidu cucunya yang baru saja mencium kedua pipinya.

"Kalo nggak minum, Aji haus dong, Oma." Aji tak ambil pusing dengan tanya bernada protes dari Samara tadi. Lalu dia menarik satu kursi lalu duduk. Membalik piring di depannya, Aji terlihat heran. "Tukang masak baru?"

"Iya," Samara menunjuk Adinda yang berdiri tak jauh dari meja panjang berisi dua orang itu. "Namanya Adinda."

Sekilas Aji menoleh pada gadis yang sejak tadi mencuri pandang padanya itu. "Oh, Lela jadi pensiun. Baguslah."

"Bagus apanya?"

"Masakannya sudah mulai membosankan. Tukang masak yang baru ini, gimana? Aku mau coba." Aji menyendok nasi lalu dia tuang ke piringnya. "Ini apa?" tanya Aji pada Adinda.

Karena sejak tadi gadis itu hanya menjadi penonton yang tak meninggalkan sekecil pun gerakan bahkan tutur kata dari Aji.

"Heh?" Adinda masih menata hati. Matanya terlena dan pikirannya berkelana. Hasilnya, dia hilang kata untuk menjawab tanya majikannya.

"Budeg, ya?!" tanya Aji tak sabaran. "Aku nanya, ini apa?!"

"Aji, apa harus seperti itu?" Samara menengahi. Dia tahu, Aji sedang dalam pengaruh alkohol. "Nanti Adinda bisa ketakutan."

Aji berdecak. "Haruskah Oma membela pembantu daripada cucu sendiri?" Pria itu tak bicara dengan nada tinggi seperti saat bertanya pada Adinda. Tentu saja, dia masih ingat bagaimana bersikap menghormati neneknya. "Hei! Aku masih menunggu jawabanmu. Ini apa?!" tanyanya mulai meninggi lagi.

"I-itu, steak salmon saus cream, Tuan," jawab Adinda. Lalu pria itu terbahak.

"Kamu gagap dan cadel? Astaga, Oma dapat pembantu model begini dari mana?"

Tangan Adinda mengepal dan mulutnya beristighfar. Pantas saja Lela kesal pada manusia satu ini.

Tahan, Adinda. Hari pertama kerja, masa mau mendebat majikan?

Samara memijit pangkal hidungnya lalu mendesah berat. "Adinda, kamu boleh pulang. Tolong maafin Aji, ya."

Adinda mengangguk lalu pamit. Beberapa saat di rumah itu telah dia lalui dengan Samara, apalagi dia sahabat neneknya. Jadi, gadis itu bersalaman lalu mencium punggung tangan wanita yang rambutnya sudah memutih itu.

"Saya pulang dulu, Nek."

"Nenek?" Aji menyela. Lalu sendok yang sempat dia gunakan untuk menyuapkan potongan ikan salmon ke mulutnya itu, dia banting keras di piringnya. "Aji nggak salah dengar?"

"Aji," Samara memberi tanda dengan isyarat telunjuk di depan bibirnya agar pria itu tak melanjutkan perkataannya. Lalu beralih pada Adinda lagi. "Apa perlu diantar sopir?"

"Tidak perlu, Nek. Saya pulang sendiri saja."

"Baiklah. Besok datang, ya. Jangan takut sama Aji."

"Apa Aji monster?" gerutuan pria yang mulai menyuapkan makanan ke mulutnya lagi itu. "Hei, Cadel! Besok buatkan aku yang seperti ini lagi!"

Kalimat Aji seolah dianggap angin lalu oleh dua wanita yang kini tengah berjalan menjauh dari meja makan itu. "Jangan dengar perkataan Aji. Dia mungkin abis minum lagi sama teman-temannya."

"Mabuk, Nek?"

Samara hanya menjawab dengan desahan, lalu berkata, "alkohol memang sudah seperti air mineral saja baginya."

"Kecanduan."

"Seperti itulah. Semenjak bercerai, dia akrab dengan minuman terlarang itu."

Adinda seketika beristighfar dalam hatinya. Dia tak ingin Samara tersinggung atau berlagak jadi orang paling suci di depan wanita itu. Bukan kita yang berhak menilai seseorang. Dengan tidak menghakimi saja, itu sudah baik. Alasan apa di balik itu, hanya si pelaku yang tahu. Doakan saja, semoga hidayah Allah menyentuh hatinya. Tak mungkin 'kan, kita langsung mengatakan seharusnya begini dan jangan begini pada orang lain yang terlihat buruk?

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang