[ O6 ] ARC 1 : WE ARE MANIAC!

9.8K 888 5
                                    

Bastian memijat pelipisnya sembari mengesah panjang. Kembali ia amati sosok 'cowok' di hadapannya itu dengan raut frustasi. Tak ia sangka Ranza akan berbuat senekat ini untuk masuk ke dalam gengnya sampai harus menyamar menjadi laki-laki.

"Lo bener-bener keras kepala ya, Ran. Kalo nanti ketahuan gimana? Gue bahkan bisa langsung ngenalin lo cuman dari cara lo jalan," omel Bastian.

Gadis itu mendengkus sebal. Pipinya sudah menggembung sejak tadi di balik masker. Merasa bete karena Bastian ternyata dengan mudah bisa mengetahui penyamarannya.

"Diem? Gak mau jawab, nih?" Bastian menangkup wajah Ranza yang melengos dan tak mau menatap ke arahnya. Manik mata mereka kini saling bersibobrok satu sama lain. "Segininya amat lo pengen jadi geng motor sampe harus nyamar segala?"

"Iya! Pokoknya gue mau jadi anak gangster, dan lo nggak boleh larang-larang gue." Ranza bersikeras. Ditepisnya tangan Bastian dari wajah. "Lagian yang tau cuman lo doang, kan? Yang lain pada nggak nyadar. Jadi bakal aman-aman aja."

"Aman pala lo!" Tangan Bastian langsung menyentil jidat Ranza. Dia gemas pada kekeraskepalaan gadis itu yang tidak mau dengar apabila dinasehati.

"Apa lo nggak mikir resiko ke depannya? Lo nyamar jadi cowok berandalan, Ran. Suatu saat bakal terlibat pertarungan. Gimana kalo pas berantem tiba-tiba wig lo copot dan ada yang nggak sengaja nyenggol area sensitif lo?"

Kini Ranza bungkam mendengar perkataan Bastian. Cowok itu memang benar. Refleks ia menyentuh rambut palsu yang terpasang di kepalanya. Namun, tak urung tetap bersikukuh pada pendiriannya.

"Ah, elah, tenang aja. Nanti gue bakal cari cara supaya wig-nya stay di kepala gue. Lagian gue pake perban dada, nggak ada yang akan nyadar siapa gue sebenernya," ucap gadis itu.

"Lo tuh, ya-!"

"Lo berdua lagi ngomongin apa? Kok langsung keliatan akrab gitu?" Pertanyaan dengan nada tak bersahabat yang bersumber dari ambang pintu basecamp itu sontak memotong ucapan Bastian.

Dia dan Ranza kompak bergeming dengan kemunculan Pandu yang bersandar pada kusen pintu sambil menyilangkan lengan. Mimik mukanya datar dengan tatapan yang sinis menghujam mereka.

"Sejak kapan lo di situ?" tanya Bastian, salah satu alisnya meninggi. Khawatir percakapannya bersama Ranza barusan terdengar juga oleh Pandu.

"Baru aja." Cowok itu melangkah lebih dekat untuk memangkas jarak. Matanya menyorot mereka penuh selidik. "Lo berdua udah saling kenal?"

"Yoi, dong! Gue sama Basu-Bastian udah bestian dari lama." Ranza langsung merangkul bahu Bastian dan menepuk-nepuknya dengan gelagat kaku. "Ya, kan, Bas?"

Bastian mendelik tajam. Ogah-ogahan, dia membenarkan pernyataan gadis itu. "Iya, Pan. Ran-maksud gue si Kairi ini juga salah satu murid di perguruan beladiri kakek gue. Makanya kita saling kenal." Saat hampir saja Bastian salah sebut nama, Ranza spontan mencubit pinggangnya hingga sedikit terjingkat.

"Oh gitu." Mendadak Pandu jadi tidak terlalu curiga kepada Ranza yang awalnya ia tuding sebagai mata-mata geng MANIAC setelah mendengar kenyataan tersebut. Namun, bukan berarti sorot mata sinisnya menghilang. Dia tetaplah Pandu yang sama seperti sebelumnya.

"Eh, bocah kerdil, mana kontak hape lo? Sini bagi, kalo mau dimasukin ke grup chat TAURUS," pinta Pandu seraya mengulurkan tangan.

Dipanggil begitu, Ranza tentu saja tersinggung. Apalagi Bastian di sebelahnya sedang diam-diam menahan tawa. Selagi merogoh ponsel di saku celananya, Ranza dengan sengaja menyenggolkan sikunya ke perut Bastian lantaran dendam.

"Aduh!" pekik Bastian kaget.

"Ini," kata Ranza sambil menyodorkan benda pipih yang di layarnya telah tertera sederet nomor. Pandu mengambilnya dan mengotak-atik ponsel sendiri untuk menyalin nomor itu.

Setelahnya, Ranza pamit pergi karena merasa urusannya di hari pertama sudah selesai. Ketika hendak melewati ambang pintu, langkahnya tertahan di sana saat suara Pandu tiba-tiba terdengar lagi. Dengan terpaksa, ia pun kembali membalikkan badan.

"Tunggu dulu," ujar Pandu, lalu berjalan ke arah sebuah lemari kayu yang terletak di pojok basecamp, berdekatan langsung dengan sebuah meja yang biasa ditempati para anggota inti. "Ini almet TAURUS."

Ranza menerima pakaian berwarna hitam yang terbungkus rapi itu dari tangan Pandu. Matanya berbinar excited karena ternyata cowok itu menghentikannya untuk memberikan almet yang merupakan seragam geng.

"Gratis nih, Pan?" tanya Ranza.

"Iya. Tapi tiap bulannya lo harus bayar kas sepuluh ribu," jawab Pandu.

"Oke, deh. Thanks!" Ranza dengan cepat mengacungkan jempol. Kemudian melihat ke arah Bastian yang dari tadi tidak bersuara sedikit pun. Ia tersenyum penuh kemenangan di balik masker dan seolah berbicara pada Bastian lewat tatapan mata. "Lihat, nih, gue dapet almet! Berarti penyamaran gue sempurna!"

Bastian hanya memutar bola matanya sebagai respon.


***

B

iasanya, Ranza akan langsung merebahkan dirinya di kasur jika dia kembali dari luar rumah karena kelelahan. Namun, kali ini berbeda. Ranza justru pergi ke depan cermin untuk mencoba almet baru yang ia dapat dari Pandu.

Di sana, gadis itu berpose dengan gaya maskulin sambil sesekali memutar tubuhnya. "Anjay, keren bat gue, jir! Si Basuki kalah ganteng ini, mah. Eh, tapi, kok bordiran nama TAURUS-nya warna ijo, sih? Bukannya punya Rein warna emas?"

Ranza salah fokus pada bordiran nama 'TAURUS GANG' yang tercetak di dada bagian kirinya. Padahal sebenarnya, tak semua almet memiliki warna bordiran yang sama. Tiap divisi mempunyai warna masing-masing sebagai ciri khas dan filosofi yang menjadi simbol dari divisi mereka.

Hijau untuk Divisi Tiga, melambangkan selaras, seimbang, ketenangan, perdamaian, dan kepuasan. Warna kuning pada bordiran almet Divisi Satu melambangkan kebahagiaan, semangat, ceria, kehangatan dan optimisme. Sesuai kepribadian dari kaptennya.

Sementara Divisi Dua bordirannya berwarna merah, yang melambangkan sifat berani, kuat, tegas, semangat berkobar dan membara, aktif, dominan, hidup, bahkan cinta kasih. Sebagaimana karakter seorang Bastian Naraka.

Bordiran almet Divisi Empat adalah warna abu-abu. Itu karena warna tersebut melambangkan tanggung jawab, mandiri, dan juga keseriusan. Sangat mencerminkan sosok Hiro Geraldine.

Lalu ada pula Divisi Kelima yang berwarna biru, di mana warna itu melambangkan kepercayaan, loyalitas, tanggung jawab, serta keamanan.

Reinhard sendiri memakai warna emas pada bordiran nama TAURUS di almetnya lantaran posisi cowok itu sangat istimewa sekaligus sebagai pemimpin tertinggi. Hanya Nicko satu-satunya yang bisa menyamai dia sebagai seorang wakil. Bordiran di almet mereka sama-sama berwarna emas.

Puas mematut penampilannya di depan cermin, Ranza menanggalkan almet itu dan menggantungnya di paku yang terdapat pada dinding kamar menggunakan gantungan baju. Dia menjatuhkan diri di atas ranjang untuk menikmati empuknya kasur itu.

Tanpa sadar, Ranza terlelap dalam buaian mimpi dan terbangun pada sore harinya ketika langit di ufuk barat sudah berhiaskan semburat jingga. Ia terperanjat dari posisi karena terlambat mengunjungi makam Kaisar.

"Astoge! Udah jam lima sore! Bisa kemaleman gue pulangnya nanti!" ujar Ranza belingsatan sendiri.

Dengan tergesa-gesa, gadis itu segera menyambar handuk yang tergeletak di sandaran kursi meja belajarnya untuk pergi mandi. Selang beberapa menit kemudian, dia kembali ke kamar dan memakai outfit biasa bertema mamba.

Memang sudah menjadi kebiasaan bagi Ranza untuk berziarah ke makam Kaisar dan ayahnya di tempat pemakaman umum dua minggu sekali tiap sore hari. Agar dia tidak terlalu merasa kesepian akibat ditinggal mati oleh dua anggota keluarganya tersebut.

Meskipun saat ini dirinya tersisa sebatang kara, tapi Ranza tak ingin terlalu berlarut-larut dalam kesedihan. Dia mencoba tabah menghadapi takdir yang telah tertulis untuknya. Seperti didikan sang ayah waktu kecil, Ranza harus menjadi pribadi bermental baja yang tahan banting.

☆☆☆

The Return Of Real Gangster [ Segera Terbit ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang