Sekembalinya Ale ke rumah, Heksa menyambut dia dengan sikap dingin. Pria itu sengaja menunggu kepulangan Ale di sofa ruang tengah sementara anak dan istrinya sudah terlelap di kamar masing-masing. Heksa memanggil Ale untuk duduk di sofa seberang dan dia hanya menurutinya.
"Setelah Om pikir-pikir, Om memutuskan bakal ngirim kamu sekolah ke luar negeri supaya lebih fokus ke pendidikan. Soalnya selama kamu masih berada di kota ini, Om yakin kamu akan terus berhubungan dengan teman-teman berandalan kamu itu," tutur Heksa to the point.
Ale jelas tak siap mendengar hal itu. Terlalu mendadak hingga membuatnya tertegun sesaat. Dia lantas menggeleng tak terima.
"Gak bisa gitu dong, Om. Kenapa harus pindah ke luar negeri? Aku nggak mau. Biarpun aku berteman sama berandalan, tapi nilaiku di sekolah tetep bagus. Aku selalu berusaha menuhin ekspektasi Om. Apa itu masih belum cukup?"
"Belum, Ale," jawab Heksa tak menyangkal. Sorot matanya kian menajam. "Om baru ngerasa cukup kalo kamu nurutin kemauan Om kali ini. Sekolah di luar negeri dan tinggalin temen-temen kamu yang gak jelas masa depannya itu."
"Tapi, Om-"
"Pokoknya gak ada tapi-tapi!" Heksa berubah membentak. Namun kemudian, oktaf suaranya kembali rendah. "Inget, Ale. Kamu hidup dari hasil belas kasihan Om. Kalo kamu nggak mau patuh lagi sama perintah Om, kembalikan semua uang yang Om keluarkan untuk memenuhi biaya hidup kamu selama ini sekarang juga!"
Ale tidak berkutik. Jika Heksa sudah mengungkit-ungkit tentang hal itu, dia tak punya lagi bantahan untuk dilontarkan. Ale hanya bisa tertunduk dengan kedua tangan yang bertaut erat, pertanda sedang gusar.
Kenapa akhirnya malah jadi seperti ini? Padahal Ale baru akan memperbaiki hubungannya dengan Rein dan teman-teman yang lain. Tapi kenapa Heksa mendadak ingin mengirimnya pergi? Tak tanggung-tanggung bahkan harus ke luar negeri.
"Tiga hari lagi, Ale. Persiapkan diri kamu dari sekarang. Om sudah pesan tiket pesawatnya. Kamu akan melanjutkan sekolah ke Edenville di negara Valilencia," kata Heksa, lalu beranjak dari sofa menuju tangga yang menghubungkan ke lantai dua.
Semalaman ini, Ale jadi tidak bisa tidur lantaran memikirkannya. Dia berkali-kali mengubah posisi baring menjadi telentang, miring, atau telungkup. Namun tetap tak dapat memejamkan mata.
"Gimana cara ngasih tau mereka, ya? Gue takut mereka malah salah kaprah dan ngira gue mau kabur dari pertanggungjawaban," gumam Ale gelisah.
Keesokan harinya di acara makan-makan, dia menjadi orang yang terlihat tidak bergairah di antara semuanya. Jam sembilan pagi itu, Azura's Cafe dipenuhi anak-anak TAURUS yang datang silih berganti. Tiada pengunjung lain selain mereka sebab Simon telah mem-booking tempat itu setengah hari.
"Eh, semuanya, dengerin sini! Ini kita lagi ditraktir sama Tuan Muda Simon. Tolong pada tau diri, ya. Jangan mesen yang macem-macem! Paham?!" Megi memperingati teman-teman gengnya dengan suara gertakan khasnya.
"Paham, Kak Gem!" Mereka kompak menyahut dengan diselingi gurauan.
"Apa hukum bagi yang tidak paham?" Skara menyahut, berdiri di sebelah Megi seraya merangkulnya dengan tatapan yang beredar ke segenap anggota TAURUS.
"Bayar sendiriiii," jawab Gama, bermaksud mewakili mereka. Suara tawa seketika memenuhi ruangan cafe tersebut.
Para berandalan itu tampak gembira dan saling melontarkan candaan selagi menunggu makanan yang dipesan. Tak berbeda dari para anggota inti yang duduk di meja lain. Hanya satu orang yang paling banyak diam di antara mereka, yaitu Ale.
Rein dengan segera menyadari sikapnya itu dan bertanya apa yang sedang Ale pikirkan. Sehingga, cowok-cowok yang tadinya sibuk mengobrol langsung memusatkan perhatian mereka pada kapten divisi satu TAURUS itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Return Of Real Gangster [ Segera Terbit ]
ActionGangster sejati itu ... seperti apa? Apa mereka yang isinya berandalan gila seperti geng MANIAC? Atau seperti Red Devil yang terdiri dari manusia-manusia gila uang? Atau apakah seperti D'Monster yang dipenuhi orang-orang barbar dan brutal? Mungki...