"Gue ngambil motor lo dulu, ya, di bengkel," pamit Bastian, usai meletakkan tas berisi barang-barang Ranza di teras.
Hari ini, gadis itu sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Sakura menjemputnya dengan mobil, sementara Bastian mengekori mereka menggunakan motornya.
"Oke." Ranza mengacungkan jempol. Dia menggamit lengan Sakura untuk digandeng. "Ayo masuk, Tan."
"Bunda, Ranza." Sakura meralat. "Berapa kali, sih, harus dibilangin? Jangan panggil tante, panggil bunda aja."
Ranza cengengesan. "Iya, Bunda. Lupa. Ngomong-ngomong, beneran nggak apa-apa Bunda yang bayarin biaya rumah sakitnya? Aku ngerasa nggak enak. Aku jadi ngerepotin Bunda."
Sakura berhenti melangkah. Otomatis Ranza juga melakukan hal yang sama.
"Hei, Ranza. Kamu itu udah Bunda anggap kayak anak sendiri. Gak perlu ngerasa nggak enak gitu. Kamu sekarang nggak punya siapa-siapa lagi. Kalo bukan Bunda, memangnya siapa yang mau kamu andalkan?" balas Sakura, menangkup pipi Ranza sambil memandangnya teduh.
Hati mungil Ranza terenyuh. Ia menggigit bibir bawahnya menahan tangis.
"Yang paling penting, sekarang kamu udah baik-baik aja. Tapi lain kali, sebaiknya kamu hati-hati dan jangan memaksakan diri, ya. Bunda nggak mau anak perempuan Bunda kenapa-napa," tukas Sakura, lalu membawa Ranza ke dalam pelukan hangatnya.
Pertahanan Ranza runtuh. Dia mulai terisak pelan.
Kalau ada orang yang paling peduli padanya dengan tulus setelah kepergian ayah dan kakaknya, mereka itulah keluarga Bastian.
Dering ponsel Sakura tiba-tiba menginterupsi momen emosional itu. Sakura terpaksa mengangkatnya karena panggilan dari orang yang penting. Dia berbicara beberapa patah kalimat dengan orang itu, kemudian mengakhirinya.
"Ranza, kayaknya Bunda harus pergi sekarang. Soalnya ada keperluan mendadak." Sakura mengusap jejak air mata yang membasahi pipi Ranza. "Maaf banget, ya, nggak bisa nemenin kamu bikin seblak. Padahal kita udah belanja bahan-bahannya."
Ranza menggeleng seraya tersenyum kecil. "Nggak pa-pa kok, Nda. Bentar lagi si Bas kan juga dateng."
"Oh, iya. Ya udah, deh. Bunda pergi dulu, ya." Sakura kembali memeluk Ranza sejenak, lantas membalikkan badannya. "Jaga diri baik-baik. Kalo ada apa-apa, langsung call Bunda."
Ranza memandang punggung Sakura yang semakin menjauh. "Siap, Nda!" jawabnya.
Sepeninggal Sakura, tersisa Ranza sendirian.
Rumah itu jadi sepi. Ranza pergi ke dapur menenteng kantong kresek putih berisi bahan-bahan pembuatan seblak. Dengan bermodalkan tutorial konten tiktok, dia mulai memasak seblaknya.
Selama memasak, Ranza memikirkan banyak hal. Ia tidak terlalu fokus. Pikirannya terpecah-belah.
Selain memikirkan tentang mimpi-mimpi aneh yang terus berseliweran mendatanginya ketika tertidur di malam hari, ada pula hal yang mengganjal di benak Ranza saat ini.
Ia seperti melupakan sesuatu.
Tapi, tidak tahu itu apa.
"Akhirnya selesai." Ranza menyeka keringat di dahinya. Dia menatap satu mangkuk seblak berisi beragam varian topping yang dibuatnya itu dengan mata berbinar.
"Baru kali ini, sih, gue nyoba bikin seblak. Dari tampilannya oke, ya. Semoga rasanya juga mantep," ucap Ranza, bermonolog.
Semakin mengamati seblak tersebut, entah mengapa hati Ranza malah semakin tidak tenang. Benar-benar ada yang terlupakan. Ranza berusaha keras mengingatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Return Of Real Gangster [ Segera Terbit ]
ActionGangster sejati itu ... seperti apa? Apa mereka yang isinya berandalan gila seperti geng MANIAC? Atau seperti Red Devil yang terdiri dari manusia-manusia gila uang? Atau apakah seperti D'Monster yang dipenuhi orang-orang barbar dan brutal? Mungki...