Sehari sebelum keberangkatannya ke luar negeri, Ale juga masih sempat menemui Alvias untuk berpamitan. Mereka bertemu di bar tempat biasa Alvias nongkrong bersama sekumpulan berandal jalanan.
"Jadi semuanya berakhir sampe sini, ya?" Alvias menanggapi penuturan Ale sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya dengan santai. "Setelah lo pulang, lo beneran gak mau jadi berandalan lagi?"
"Iya, Al. Gue udah mau fokus sama kehidupan. Untuk seorang anak yatim piatu kayak gue yang numpang hidup sama orang lain, gue harus cukup tau diri. Cuman main-main doang buat ngelampiasin masalah nggak akan bisa jadi penyelesaian bagi kehidupan gue," balas Ale panjang lebar.
Alvias menyesap kembali rokoknya dalam-dalam seraya menyorot Ale dengan manik legamnya yang berpendar sayu. "Boleh gue matiin aja gak tuh orang? Nanti lo ambil alih semua hartanya."
"Jangan macem-macem lo, Al." Ale langsung mendelik. Dia mengerti siapa orang yang Alvias maksud. Jelas itu adalah pamannya, Heksa. "Gue sendiri lebih dari pengen, tapi gue nggak berani ngelakuin itu."
Napas Alvias terembus pelan. Kini dia bertopang dagu. "Ya udah serah lo. Sana pergi aja. Gue mau cari badut lain buat ngehibur hari-hari gue dan nunjukin hal-hal yang menarik."
Ale tidak membantah. Detik itu juga dia beranjak dari tempat dan sekali lagi pamit pergi pada Alvias.
Cowok itu tak berminat bicara, hanya melambaikan tangan untuk mengusir Ale. Mendadak mood-nya menjadi buruk. Kepergian Ale yang terlalu mendadak membuat dirinya merasa kehilangan partner dalam melakukan hal-hal liar yang memacu adrenalin.
Sekarang, ke mana Alvias harus melampiaskan kekesalan?
Sosok gadis berambut panjang tiba-tiba berkelebat di benak Alvias. Dia jadi teringat kejadian beberapa waktu lalu. Saat itu, Alvias berdiri di atap rooftop gedung lain untuk mengawasi hotel terbengkalai yang merupakan markas MANIAC. Siapa sangka ia akan melihat seorang gadis yang mengendap-endap mengikuti Ale dan masuk ke markas itu juga?
Alvias tak melakukan apa pun meski mengetahuinya. Ia hanya mengawasi pergerakan gadis itu dari awal sampai akhir. Ketika si gadis masuk, lalu keluar lagi dengan cara berlari lantaran diuber-uber berandalan MANIAC.
Alvias cukup terkesan pada pandangan pertama. Apalagi sewaktu gadis itu tancap gas menghindari kejaran mereka, dia terlihat sangat mahir mengendari motor walau dalam keadaan panik.
Jadi, Alvias pun tertarik membuntutinya hingga pulang ke rumah. Tak peduli meski salah satu berandalan MANIAC terjatuh dari motor di tengah perjalanan akibat ulah gadis itu. Dia tetap meneruskan pengejaran tanpa diketahuinya.
"Oh, iya. Cewek itu, ya ..." Alvias tersenyum menyeringai. Pupil matanya sedikit menggelap. Puntung rokok yang ia jepit di antara dua jari langsung ditekan ke asbak. "Kayaknya gue masih inget rumah dia. Apa gue perlu main-main ke sana, ya?"
Malam itu, entah jam berapa, yang pasti sudah memasuki waktu tengah malam. Alvias benar-benar melakukan apa yang dia ucapkan. Dia pergi ke rumah Ranza dengan niat tercela. Di teras rumah tersebut, Alvias menemukan ada beberapa puntung rokok dan sepasang sendal laki-laki.
Alvias berjongkok untuk melihat puntung rokok itu lebih jelas dan menyadari kalau posisinya belum berubah sama sekali semenjak dia mendatangi tempat ini terakhir kali. Begitu pula dengan sendal di sana yang tampaknya tidak ada tanda-tanda pernah dipakai siapa pun.
Hal itu membuat Alvias terkekeh geli. "Trik pasaran. Udah kebaca banget. Pasti karena dia tinggal sendirian di sini."
Menggunakan teknik maling yang dipelajarinya, Alvias membobol jendela samping rumah dengan linggis yang ia bawa. Kegelapan sontak menyambut dirinya begitu masuk ke dalam. Pelan tapi pasti, dia mulai mengayunkan langkah pertamanya menjelajahi rumah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Return Of Real Gangster [ Segera Terbit ]
ActionGangster sejati itu ... seperti apa? Apa mereka yang isinya berandalan gila seperti geng MANIAC? Atau seperti Red Devil yang terdiri dari manusia-manusia gila uang? Atau apakah seperti D'Monster yang dipenuhi orang-orang barbar dan brutal? Mungki...