Bag 24. Merindukan seseorang

21.1K 1.7K 14
                                    


Apa katanya, berperang? Yang benar saja! Zaman sekarang masih saja ada peperangan. Jeanna tak habis pikir, apa mereka tak bisa berdamai saja? Kenapa harus berperang?

"Aku akan meninggalkan tempat ini untuk beberapa hari. Jadi, kuharap kau tak ke mana-mana. Tetaplah di dalam kastil!"

"Tunggu, apa itu perang sungguhan?" Alaric terkekeh mendengar ucapan Jeanna, sepertinya matenya ini tak tahu apa-apa.

"Tentu saja, memang kau pikir seperti apa?"

"Berarti... tidak! Kau tidak boleh pergi!" ujarnya, kini Jeanna membalik badannya mencoba menghadap Alaric.

"Kenapa?"

"Bisa saja kau akan mati terbunuh nantinya." Balasnya cepat.

Alaric terdiam, ia mengamati setiap inci wajah Jeanna dengan seksama. Iris coklat, hidung mungil dan juga bibir ranumnya itu, benar-benar menguji Alaric. Jeanna yang dipandangi seintens itu tentu saja menjadi gugup.

"Apa kau menghawatirkanku, hm?" wajah Alaric semakin mendekat, Jeanna bisa merasakan napas Alaric menerpa wajahnya. Bahkan ia bisa menghirup aroma mint dan maskulin dari pria di hadapannya ini.

"M-maksudku, nanti siapa yang akan menggantikan raja jika kau mati," ujarnya buru-buru.

Alaric tak menghiraukan jawabannya, ia semakin mendekat ke arah Jeanna. Tangannya menarik tubuh Jeanna agar semakin dekat padanya, pandangan Alaric saat ini tertuju pada bibir Jeanna, satu tangannya yang lain menarik tengkuk gadis itu.

Jeanna sadar Alaric akan menciumnya, namun entah kenapa ia tak bisa mengelak. Jeanna mencengkram kerah baju milik Alaric saat pria itu semakin mendekat. Saat ia merasakan benda kenyal itu menempel sempurna pada bibirnya, Jeanna refleks memejamkan matanya.

Tangan Jeanna beralih mengalung sempurna pada leher Alaric, saat pria itu mulai menggerakkan bibirnya. Melumat bibir matenya yang terasa manis dan candu, tanpa sadar Jeanna ikut menikmati ciuman Alaric.

Karena tak ada perlawanan, Alaric semakin memperdalam ciumannya, ia terus melumat bibir matenya itu, lidahnya menerobos masuk ke dalam lalu membelit lidah Jeanna seakan menyuruhnya untuk membalas ciumannya. Jeanna mengerang tertahan saat ciuman Alaric semakin menuntut. Tangannya turun ke dada pria itu, menepuknya beberapa kali, seakan menyuruh Alaric berhenti karena ia tak dapat bernapas.

Saat Jeanna berhasil melepas pagutannya, pria itu malah beralih pada lehernya. Tubuh Jeanna meremang saat merasakan napas hangat Alaric menerpa kulit lehernya.

"A-larich..."

Jeanna bisa merasakan bibir pria itu mengenai kulit lehernya, Alaric mengecupi setiap inci leher Jeanna, menggigitnya kecil, membuat tanda di sekitar leher matenya itu. Jeanna tak bisa berpikir jernih, ia ingin berontak, menghentikan semua ini, tapi tubuhnya justru berkata lain. Jeanna terlalu fokus pada sensai aneh yang baru ia rasakan.

Saat tangan pria itu bergerak semakin liar, mencoba menelusup ke dalam pakaian yang Jeanna kenakan. Ia tersadar dan mencoba menghentikan Alaric.

"S-stoph!" ujarnya dengan napas tersengal-sengal.

Untunglah pikiran Jeanna kembali waras, ia pun berhasil menghentikan Alaric. Jeanna melihat raut wajah itu, mata Alaric terpejam seperti tengah menahan sesuatu.

"Maaf..." ujarnya dengan helaan napas panjang.

Alaric pun tak mengerti, akhir-akhir ini tubuhnya mudah sekali diambil alih oleh srigalanya itu. Jika saja tadi Jeanna tak berontak, mungkin ia akan terus melanjutkan aksinya hingga akhir.

"Sebaiknya kau ke kamar sekarang," ujar Alaric yang kini tengah menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinga. "Saat ini aku sedang kacau, aku takut lepas kendali."

Seakan mengerti arah pembicaraan Alaric, Jeanna segera bangkit dari pangkuannya.

"K-kalau begitu a-aku, akan keluar," ucapnya terbata-bata, ia pun segera berlari keluar.

Saat ia membuka pintu, dirinya dikejutkan oleh keberadaan seseorang yang kini tengah berdiri di depan pintu. "Astaga!"

"Oh hai, apa aku mengejutkanmu?"

"Ah tentu saja tidak." Dan sialnya Jeanna sangat kikuk sekarang.

"Tadinya aku ingin menemui pria itu, tapi saat aku melihatmu aku tidak jadi menemuinya," tiba-tiba wanita di hadapannya ini menarik tangan Jeanna.

"Jadi aku akan membawamu saja."
Jeanna terus mengikuti langkah Queen Azura, kira-kira ia akan dibawa ke mana. Langkah mereka terhenti di sebuah ruangan besar, Queen Azura membawa Jeanna masuk ke dalam.

"Aku hanya ingin berbincang santai dengan menantuku, sulit sekali mendapatkanmu dari Alaric." Azura mendengus kesal mengingat betapa posessivenya pria itu pada gadis ini.

Jeanna yang mengerti pun tersenyum simpul. "Memangnya ada apa Ra-tu?" tanya Jeanna ragu-ragu.

"Panggil saja Mom, seperti putriku yang selalu memanggilku dengan sebutan itu," ucapnya dengan senyuman.

Namun sepertinya Jeanna menyadari sesuatu, di balik senyuman itu ada kerinduan yang teramat dalam. Jeanna teringat akan seseorang, yah, mungkin yang dimaksud Queen Azura adalah Arabella.

"Apa dia itu, Arabella?"

"Bagaimana kau bisa tahu?"

"Ituu-Alaric yang memberitahu padaku."

"Kalau aku boleh tahu, di mana dia? Aku tak pernah melihatnya di sini." lanjutnya.

Raut wajah Queen Azura seketika terlihat sendu. "Aku juga tak tahu dia di mana, gadis itu tiba-tiba saja pergi dari kastil ini saat umurnya 15 tahun."

"Kenapa ia pergi begitu saja?"

"Karena sesuatu yang terpendam dalam dirinya. Kau pasti tahu bukan, setiap werewolf mempunyai sisi wolfnya. Lain halnya dengan Bella yang tak dapat menemukan sisi wolfnya itu, bisa dibilang dia... cacat."
Jeanna memeluk tubuh wanita itu, saat ia melihat raut kesedihan pada Queen Azura.

"Ia sangat malu saat mengetahui cacat pada dirinya, dia juga menganggap dirinya sebagai pembawa sial bagi pack ini, padahal itu sama sekali tidak benar!" lanjutnya.

"Aku mengerti apa yang dirasakan Bella saat itu," ujar Jeanna mencoba menenangkan sang Ratu.

"Ada kalanya seseorang butuh waktu untuk menyendiri, mungkin saja dia seperti itu. Mungkin untuk saat ini Bella hanya tak ingin terlihat oleh siapa pun, pastinya ia juga merindukanmu Mom."

"Yah, kau benar. Aku hanya berharap dia baik-baik saja saat ini."

Jeanna melepaskan pelukannya, ia melihat raut wajah Queen yang sudah mulai tersenyum kembali.

"Jangan menampilkan wajah seperti tadi lagi, aku tidak bisa melihat raut sedih seorang ibu. Karena itu akan mengingatkanku pada orang tuaku."

"Oh ayolah, kenapa sekarang malah kau yang bersedih."

Yah setidaknya dengan keberadaan Queen Azura mampu mengobati rasa rindu Jeanna kepada kedua orang tuanya.













Masih mau lanjut?

Kalau gitu...

»Jangan lupa Vote & Komennya ya, thx u

{ 10-08-22 }

Switch OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang