Bag 19. Permintaan

30K 2.1K 6
                                        


"HUAAA FIRST KISS GUE!" sejak kejadian tadi Jeanna terus mengumpat, ia terus merutuki kebodohannya.

"Kenapa tadi gue diem aja. Ih bego!"

Ia terus mengingat kejadian tadi. Ciuman itu, benar-benar masih terbayang olehnya. Jeanna masih bisa mengingat jelas saat bibir Alaric menyentuh bibirnya lalu bergerak dengan begitu lihai,

Oke stop Jeanna!

Jika saja teman-temannya itu tahu tentang hal ini, pasti Jeanna sudah menjadi bahan candaan mereka bertiga. Astaga, Jeanna baru teringat akan teman-temannya itu, ia benar-benar lost contack dengan ketiga temannya itu selama hampir dua minggu.

Sepertinya Sera akan sangat marah kepadanya, karena Jeanna yang tak kunjung memberikan kabar. Bagaimana Jeanna bisa memberi kabar, ponselnya saja tertinggal di dalam tenda sewaktu ia berada di hutan.

Dan saat itu Alaric membawanya secara paksa ke tempat ini tanpa berpamitan dengan kakaknya dan yang lain. Jeanna kembali menepuk jidatnya, teringat akan Stefen yang mungkin menghawatirkan dirinya saat ini.

"Gue harus ke rumah Olivia. Yah seenggaknya mereka tau kalau gue baik-baik aja di sini, jadi mereka gak perlu khawatir lagi."

Tapi bagaimana caranya? Itulah yang tengah Jeanna pikirkan saat ini. Tidak mungkin jika ia pergi sendirian ke rumah Olivia, ia saja tak tahu tempat ini berada di mana. Mau tak mau Jeanna harus meminta kepada Alaric.

"Gak, gue gak bisa! Setelah apa yang terjadi barusan..." Yah, Jeanna pasti akan mengingat kembali kejadian itu jika melihat wajah Alaric.

"Belum tentu juga dia bolehin gue ke rumah Olivia," ujarnya seraya mendengus pasrah.

_____________

Jeanna terus melangkah mencari sosok keberadaan Alaric, rupanya ia memutuskan untuk bertemu dengan pria itu dan memintanya langsung. Tentu saja soal keinginannya untuk pergi ke rumah Olivia.

"Mana sih tu orang, mana ni tempat gede bener, kan capek kaki gue jadinya!"

Jeanna mendumel kesal, langkahnya terus membawanya ke suatu tempat, ruang kerja Alaric. Jeanna yakin jika lelaki itu berada di sana. Hingga akhirnya ia berhenti tepat di depan sebuah pintu, tangannya terangkat di udara berniat mengetuk pintu tersebut. Namun ia tak jadi, Jeanna ragu-ragu.

"Masuk gak ya..." Ujarnya menimbang nimbang.

Setelah mengumpulkan keberanian, akhirnya Jeanna mengetuk pintu tersebut. Tak lama muncul sosok yang tengah ia cari-cari, Jeanna seketika gugup, semua keberanian yang telah dikumpulkannya hilang begitu saja.

"Ada apa?" suara berat itu semakin membuat Jeanna gugup, bagaimana bisa pria ini bersikap biasa saja setelah apa yang dirinya perbuat tadi.

"Ehmm aku... ingin berbicara," ujarnya dengan suara teramat pelan, mencoba menyembunyikan kegugupannya.

"Bicaralah yang jelas mate!" Alaric menarik tangan Jeanna untuk masuk ke dalam ruangannya. Ia mendudukkan Jeanna di sebuah sofa, Alaric ikut duduk di sampingnya.

"Sepertinya kau ingin meminta sesuatu padaku," ucapnya seakan tahu isi pikiran Jeanna.

"Aku, ingin menemui kakakku," ujarnya tanpa menatap ke arah Alaric.

Sungguh! Jeanna tidak bisa melihat raut wajah pria di sampingnya ini, berdekatan dengan Alaric benar-benar membuatnya gugup.

"Tidak!" jawabnya cepat, kali ini Jeanna menatap ke arahnya.

"Kenapa? Aku hanya ingin menemuinya sebentar dan mengambil beberapa barang-barangku di sana."

"Aku akan menyuruh Edward nanti, untuk mengambil barang-barangmu."

"Aku harus bertemu dengannya Alaric!" Alaric sedikit terkejut, baru kali ini Jeanna memanggil namanya.

Alaric terdiam tak membalas ucapan Jeanna, ia tengah berpikir apa jadinya jika dirinya pergi menemui para vampir itu. Alaric menghela napasnya.

"Bagaimana jika mereka merebutmu dariku," raut wajah Alaric terlihat gusar.

Jeanna yang menyadari akan hal itu, tiba-tiba tangannya terulur menggenggam tangan besar milik Alaric. Seakan menyuruhnya untuk tenang seolah dirinya tak akan ke mana-mana.

"Kupastikan hal itu tak akan terjadi!" ujarnya dengan bersungguh sungguh. Alaric menatap ke arah tangan Jeanna yang tengah menggenggam tangannya. Ia balik menggenggam tangan Jeanna.

"Baiklah, aku akan menemanimu." tangannya bergerak mengelus tangan kecil milik Jeanna.

Jeanna tampak antusias, ia berdiri dari duduknya. "Kalau begitu ayo!"

"Tidak sekarang, mate." Dilihatnya raut wajah Jeanna yang kembali murung. "Sudah senja," lanjutnya.

Ia kembali menarik Jeanna untuk duduk, tetapi bukan di sofa, melainkan di pangkuannya. Jeanna mencoba berontak namun tetap saja hasilnya sama seperti yang sudah-sudah, tangan Alaric terlalu kuat menahan tubuhnya agar tidak lolos.

"Sekarang kau harus istirahat. Besok pagi aku akan mengantarmu," lanjutnya seraya mendekap tubuh Jeanna.

"Kalau begitu, aku-harus ke kamar."
Alaric tiba-tiba bangkit dari duduknya dengan keadaan dirinya yang masih berada di dekapan pria itu. Reflek Jeanna mengalungkan tangannya di leher Alaric.

"Aku bisa jalan sendiri," ia tak menghiraukan ucapan matenya itu
Alaric terus melangkah menuju kamar Jeanna. Lebih tepatnya, itu kamar mereka berdua. Jeanna saja yang tak tahu jika Alaric selalu menemaninya tidur saat tengah malam.

Hingga ia sampai di kamar, "aku akan menemanimu tidur malam ini," perlahan Alaric menurunkan tubuh Jeanna di atas kasur.

"Hah? tidak-tidak! Tentu saja kau tidak boleh tidur di sini!" balasnya cepat.

Namun sepertinya Alaric tak menghiraukan ucapan Jeanna. Dengan santainya, ia merebahkan tubuhnya di samping gadis itu. Jeanna berdecak kesal melihat tingkah Alaric yang terkadang suka seenaknya saja. Tentu saja, ia tak akan mungkin tidur di sebelah pria ini!

Mau tak mau ia memilih mengalah, Jeanna mengambil satu bantal, ia hendak turun dari kasur dan berjalan ke arah sofa. Namun tangan Alaric tiba-tiba menariknya untuk tidur di sampingnya.

"Begini lebih baik," ujar Alaric.

Jadilah kini mereka tidur dalam satu bantal, Alaric semakin memeluk tubuh kecil Jeanna. Sedangkan Jeanna, tubuhnya langsung menegang dan kaku saat itu juga. Ia tak terbiasa akan perlakuan Alaric yang tiba-tiba, itulah yang membuatnya selalu merasa gugup saat bersama Alaric.

Jeanna tak pernah menjalin hubungan dengan siapapun selama hidupnya, ia benar-benar buta dalam hal percintaan. Selama ini dirinya saja tak tahu bagaimana rasa jatuh cinta yang sesungguhnya.

Soal Zeyn? Ia pikir itu hanya sekedar rasa suka atau kagum saja. Jeanna yakin bukan hanya dirinya saja yang berlaku demikian, semua cewek-cewek pasti akan terkagum oleh paras dan kepintaran Zeyn.

"Tidurlah..." Bisiknya. Seakan tahu jika Jeanna merasa tak nyaman, Alaric mencoba mengusap punggung gadis itu.

Perlahan tubuh gadis itu tak setegang sebelumnya. Dan rupanya usapan tangan Alaric mampu menghantarkan rasa nyaman dan kantuk secara bersamaan. Jeanna pun akhirnya memejamkan matanya.

















»Jangan lupa Vote & Komennya ya, thx u

{ 28-07-22 }

Switch OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang