DA | 04

461 72 48
                                    

Waktu menunjukan pukul setengah 3 sore. Gadis berkuncir kuda dengan pakaian serba hitamnya mengendara Bugati hitam membelah jalanan kota Jakarta yang tak pernah sepi. Setengah jam berlalu kini gadis berkaca mata hitam besar itu memarkirkan Bugatinya di area khusus pemakaman, perlahan kaki jenjangnya pun berjalan melewati gundukan-gundukan tanah yang tertata rapih dengan batu nisan yang tertancap sempurna di ujungnya, hingga langkahnya terhenti tepat di antara 2 pusara dengan nisan tertulis jelas siapa pemiliknya.

Sejenak gadis cantik itu memejamkan matanya erat mengingat kilasan memori dengan jelas kejadian 5 tahun silam, bagaimana suara nyaring tembakan menggema di gedung tua itu dan timah panas yang menembus kulit lengannya.

Kakinya mulai melemah dan air mata pun mulai tumpah. Ia tersungkur di antara dua makam milik mema dan baba nya, kedua tangannya pun terulur memeluk 2 makam tersebut.

"Mema ... baba ... Ara kembali." Lirihnya. Ia memeluk erat kedua pusara tersebut seolah itu adalah tubuh kedua orang tuanya.

"Ara janji bakal selesein semuanya bagaimana pun nyawa harus di balas dengan nyawa right?"

Nafasnya mulai tersendat kala ingatannya mengingat jelas saat sang baba melindunginya dan saudara kembarnya hingga timah-timah panas itu menembus tubuhnya dan satu di antaranya tepat mengenai jantungnya membuat cinta pertamanya harus merenggang nyawa.

Gadis itu hanya tersenyum masam dan menatap nanar kedua nisan tersebut. "Baba Ara rindu baba yang selalu membela dan mengutamakan Ara. Ara juga kangen mema yang selalu ngomelin Ara karena kejailan Ara, mema yang selalu ceritain dongeng sebelum Ara bobo, terlebih Ara rindu usapan lembut dan pelukan hangat mema."

Kilasan memori terus berputar seperti kaset rusak kebersamaan keluarga kecilnya hampir selama 10 tahun, bagaimana kedua orang tuanya menyayanginya, merawatnya dan mendidiknya.

"Mema sekarang Nana udah besar dan cantik dengan wajah kombinasi dari mema sama baba. Maaf belum bisa bawa Nana nemuin kalian." Lirihnya.

"Ara pulang dulu ya, maaf gak bisa lama-lama nemenin kalian disini. Tenang disana mema ... baba ..."

Ayara pun menghapus air mata yang terus membasahi wajah cantiknya sebelum bangkit dan menatap kedua makam tersebut. Cukup lama hingga gadis itu tersentak saat ada tangan kekar menggenggam lembut tangannya, refek gadis itu menoleh dan menatap siapa pemilik tangan itu yang juga tengah menatapnya lembut dengan tangan bebasnya mengusap sisa air matanya.

"Al?" Cicitnya.

"Kenapa pergi sendiri hm?"

Menghela nafas panjangnya gadis itu menatap laki-laki di depannya jengah, entah kenapa laki-laki itu terlalu over prictective padanya, padahal keduanya hanya sebatas saudara sepupu. Gadis itu pun melepaskan tautan tangannya dan mulai melangkahkan kakinya berniat pergi dari area pemakaman itu namun lagi dan lagi Alaric menahannya.

"Kenapa gak di jawab?"

"Kamu tau pasti jawabannya Al." Setelahnya ia langsung melenggang pergi dan segera di ikuti laki-laki itu. Alaric langsung menggenggam lembut tangan Ayara hingga keduanya berada di depan mobil mereka.

"Pake mobil gue aja." Celetuk Alaric.

Gadis itu menggeleng pelan. "Gak mau! Terus mobil aku gimana?"

"Tinggal aja, nanti biar sopir yang ngambil."

"Gak mau!" Gadis itu masih bersih keras menolaknya.

"Fine! Gue yang ngalah. Mobil gue aja yang di tinggal biar nanti sopir yang bawa."

"Terus kamu pulangnya naik apa? Angkot?!"

"Mobil lo lah pinter!" Kesal Alaric.

"Dih gak mau ya!" Ketusnya dan segera memasuki Bugatinya meninggalkan Alaic yang menatapnya kesal. Dan sialnya laki-laki itu sudah mengambil alih kuncinya membuat sang empuh berdecak kesal.

Dᴀɴɢᴇʀᴏᴜs Aʏᴀʀᴀ (#SFS3) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang