Chapter53

210 9 0
                                    

Rasanya memang sedikit kesal. Niat awal aku ingin memberi kejutan kepada Ardan tentang kehamilanku, tapi karena kekhawatirannya melihatku yang terus merasa mual akhirnya aku memberitahu Ardan dengan terpaksa. Dia memang sangat tidak sabaran.

Hari itu ketika Ardan sedang berada di kantor tiba-tiba aku merasa pusing dan mual. Tadinya aku hanya berfikir bahwa gejala mual yang kualami hanya karena masuk angin saja. Tapi aku ingat bahwa aku telat datang bulan.

Dengan ragu aku langsung pergi ke apotek dan membeli alat tes kehamilan. Awalnya aku ragu, aku juga merasa sangat gugup. Bukan takut karena aku akan memiliki seorang anak, aku justru takut jika hasilnya ternyata negatif.

Semua rasa gugup dan takutku terbayarkan saat aku mellihat dua garis berwarna merah pada alat itu. Aku senang bukan main, aku tidak akan bosan lagi karena akan memiliki seorang anak, aku sangat bahagia karenanya. Aku berniat memberi kejutan kepada Ardan, tapi rasa mual itu pagi itu memang sangat membuat Ardan khawatir.

Suara dering dari ponselku membuat atensiku teralihkan, ku ambil ponsel tersebut dari dalam tas yang kusimpan di samping tempatku duduk. Hari ini Ardan mengajakku jalan-jalan ke taman, menghirup udara segar katanya agar aku tidak bosan karena terus di rumah.

Sebenarnya bukan karena berada di rumah aku merasa bosan, karena tidak ada Ardan disampingku aku menjadi bosan. Pasalnya selama satu minggu ini dia mengambil cuti dan menemani di rumah, aku tidak merasa bosan karena ada Ardan.

"Halo?"

"Halo Ana?"

"Iya, Kak Aya?"

"Gimana kabar kamu? Masih mual kayak kemarin?"

"Sekarang udah mendingan Kak, lagian Ardan juga ada sama aku. Jadi, Kak Aya gak usah khawatir. Kamarin juga aku abis dari dokter kandungan, udah di resepin obat juga."

"Syukur kalo gitu, Kakak khawatir soalnya Kakak tau gimana rasanya. Pas hamil Evan dulu juga gitu. Oh iya, minggu depan Kakak mau ke Jakarta, mau ke rumah Mas Adi."

"Kebetulan kalo gitu, Kak. Ardan bilang temennya ada yang mau nikah minggu depan. Kita juga kayaknya mau ke sana sebelum hari H."

"Bagus kalo gitu, kita bisa ketemu disana. Nanti Kak Aya bilang sama Mami, soalnya kemarin katanya ada yang mau dititipin."

"Okey, Kak Aya. Oh iya, Evan mana?"

"Evan lagi keluar sama Mas Adi. Kak Aya tutup teleponnya ya lagi masak soalnya. Kamu baik-baik disana."

"Iya, Kak."

Aku menghela napas panjang. Mendengar suara Kak Aya membuatku rindu dengan Surabaya. Aku rindu Mami, Papi dan keponakanku, Evan.

Katanya anak itu sudah mulai masuk sekolah, memikirkannya saja sudah membuatku tersenyum kecil. Aku merindukannya.

"Ana."

Suara panggilan tersebut membuatku menengok seketika. Senyuman yang selalu dia tampilkan membuatku sedikit terkejut.

"Kak Arkan?"

"Aku boleh duduk?" Tanyanya, aku masih terdiam tak tahu harus berkata apa. Ardan masih belum kembali dari kedai ice cream. Pergerakan Kak Arkan yang mulai duduk di sampingku membuatku tersadar dari diamku. "Kok malah bengong?"

"Eh i-iya Kak, Ardan masih belum kesini lagi, Kak. Tadi katanya mau beli ice cream."

"Kakak tau."

Jawaban Kak Arkan membuatku menoleh seketika. Dia tahu? Maksudnya? Dia datang karena memang aku tengah sendiri? Dia mengikuti kami?

My First Love is My SecretaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang