Chapter52

238 7 0
                                    


Ardan POV

Keluarga. Definisi keluarga menurutku sangat sulit untuk dijelaskan. Entah keluarga yang mana yang harus kubahas, yang jelas aku menyayangi keluarga yang telah mengurusku sedari kecil sampai sekarang.

Semua orang tahu, bahwa ibu adalah sosok orang yang sangat berjasa bagi kita, sosok orang yang rela mempertaruhkan nyawanya demi melahirkan sang buah hati. Dalam hidupku, sosok ibu yang seperti itu sangat sulit untuk kugambarkan. Bahkan melihat wajahnya saja aku tidak pernah. Bukan karena beliau meninggal saat melahirkanku, tetapi beliau malah membuangku.

Hal tersebut selalu menjadi hal yang kupikirkan sejak saat mendengar pernyataan Mama dulu. Saat Mama mengatakan bahwa aku bukan anak kandungnya, saat Papa menceritakan bahwa aku adalah seorang anak yang ditemukan oleh Nenek saat masih bayi.

Sampai saat ini aku selalu menyimpan rasa penasaran tersebut dalam hati, aku tidak mau mengecewakan Mama dan Papa yang selalu menyayangiku seperti anak sendiri dengan mencari tahu keadaan keluarga yang bahkan tidak menginginkan kehadiranku.

Papa bahkan lebih menyayangiku dibandingkan dengan anak kandungnya sendiri, Kak Arkan. Aku memutuskan untuk berhenti memikirkan masa lalu dan menjalani masa kini dengan tenang. Dengan adanya Anara disampingku, aku yakin aku akan bahagia.

Tapi obrolan Anara malam itu membuka luka lama ku, seakan menggosokan garam pada luka yang menganga. Aku mengerti mengapa Papa dan Mama menyembunyikan semua itu dariku, tapi terlepas dari itu, fakta yang berhasil membuatku terkejut sekaligus membuatku bersedih adalah ternyata aku memiliki seorang Adik perempuan.

Pertanyaan yang tiba-tiba timbul dalam benakku, mengapa orangtuaku tega membuangku sedangkan mereka merawat adikku? Aku bahkan sudah tidak sanggup untuk mencari tahu kebenarannya, aku terlalu takut.

Anara yang selalu tahu bahwa aku menyembunyikan perasaanku selalu menghiburku. Padahal, aku selalu berusaha terlihat baik-baik saja didepannya.

Perkataannya waktu itu membuatku berpikir bahwa Anara adalah satu-satunya orang yang memahamiku.

"Aku cuma mau kamu yakin sama diri kamu sendiri, sama aku yang siap buat jadi tempat mengadu kamu. Aku mau kamu tunjukin luka kamu sama aku, aku gak yakin bisa sembuhin luka kamu, karena cuma kamu sendiri yang bisa sembuhin luka kamu sendiri dengan cepet. Tapi terlepas dari itu semua, aku mau kamu bagi suka duka kamu sama aku, seenggaknya itu bakal ngebuat kamu lebih baik. Aku mau jadi satu-satunya rumah buat kamu, sayang."

Kali itu untuk pertama kalinya aku menangis dengan kencang didepan Anara, menumpahkan segala kecemasan dan kesedihanku selama ini. Benar kata Anara, hal tersebut membuatku merasa lega, seakan mengangkat beban yang sangat berat dan membuat sesak di dalam dada.

Aku juga tidak boleh bersikap egois, aku harus bahagia. Demi Anara, aku akan melupakan semuanya, berusaha sembuh dan tak meminta penjelasan ataupun tuntutan atas semua permasalahan keluargaku kepada Papa maupun Mama.

Biarkan saja seolah aku tidak tahu apa-apa. Aku hanya ingin bahagia dengan hidup tenang dan damai bersama Anara.

Gerakan kepala Anara dalam pelukanku mengusikku dari tidur, padahal di hari minggu ini aku berniat menghabiskan waktu di kasur dengan Anara. Dalam artian melakukan kegiatan di kamar saja, alias tidak kemana-mana.

Tapi Anara yang terus bergeliat minta dilepaskan membuatku membuka mata perlahan. Sedikit terkejut ketika Anara langsung berlari dengan menutup mulutnya ke arah kamar mandi saat aku melepaskan tanganku yang melingkar diperutnya.

Mendengar suara Anara yang tengah muntah-muntah membuatku panik seketika, bangkit dari ranjang kemudian menyusul Anara ke kamar mandi.

Anara tengah terduduk lemas didepan wc duduk saat aku datang, membuatku sangat cemas.

My First Love is My SecretaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang