Chapter56

739 13 0
                                    


Ardan pov

Surabaya. Kota ini memiliki banyak kenangan indah untukku. Mulai dari kenangan bersama nenek dan kali pertama aku bertemu Anara dulu.

Sampai saat ini aku belum benar-benar percaya bahwa gadis tomboy itu sudah menjadi istriku dan tak lagi kami akan segera menjadi orangtua. Takdir memang tak pernah bisa ditebak dan selalu memberikan kejutan untukku.

Tepat satu minggu setelah pesta pernikahan Rendi digelar, aku memutuskan untuk menemani Anara pulang ke Surabaya. Sebenarnya wajar saja jika Anara rindu dengan orangtuanya, semenjak menikah dan pindah ke Bogor kami belum bertemu lagi dengan Papi dan Mami.

Di usia kandungan Anara yang masih sangat muda ini, sebagai seorang suami yang terbilang masih baru aku merasa cemas bukan main. Banyak kasus keguguran pada kahamilan pertama pasangan jaman sekarang, terlebih lagi aku yang akan semakin sibuk karena kembali ke kantor pusat tidak akan bisa standby 24 jam untuk Anara. Membawa Anara ke Surabaya mungkin adalah keputusan tepat agar kondisi Anara setidaknya terlindungi.

Bukan aku merasa tidak mampu, hanya saja melihat Anara menangis hari itu membuatku sedikit takut. Dokter bilang hormon ibu yang sedang hamil memang membuat mood nya berubah-ubah, jadi sebisa mungkin aku ingin melakukann semua hal yang Anara inginkan.

"Kok ngelamun, Dan?"

Perkataan Papi membuat sedikit terperanjat, padahal aku tengah menjadi lawan main catur Papi tapi pikiranku melanglang buana kemana-mana.

"Ardan gak ngelamun. Cuma kepikiran Anara aja, Pih." Ujarku sambil memindahkan kuncung putihku agar sejajar dengan kuda hitam milik Papi.

"Memangnya Anara kenapa? Dia nyusahin kamu?" Pertanyaan Papi membuatku seketika mendongak, tentu saja bukan itu alasannya. Susah sewajarnya Anara yang tengah hamil muda menyusahkanku, apalagi jika dipikir-pikir aku yang lebih sering menyusahkan Anara, bukan sebaliknya.

"Anara gak nyusahin, Ardan cuma khawatir aja sama dia."

"Khawatir?"

"Mual nya udah mendingan si sekarang, tapi beberapa hari terakhir ini kan nafsu makan Anara lagi turun." Suara tawa tiba-tiba terdengar dari mulut Papi, membuatku heran. "Kok Papi malah ketawa?"

Hahahaha

"Kamu lucu soalnya. Pasangan muda emang selalu seaneh ini si."

"Maksud Papi?"

"Dulu, waktu Mami Anara ngandung Anara Papi juga sekhawatir itu."

"Kenapa?"

"Mual-mualnya lama, lebih dari 3 bulan kalo gak salah. Kehamilan yang kedua biasanya memang berbeda dari kehamilan yang pertama. Papi sangat cemas waktu itu, tapi kamu tahu apa yang Mami bilang?" Aku menggeleng tak tahu, "Mami kamu bilang dia bakalan kuat karena dia mau anak laki-laki. Setelah kelahiran Anaya Mami pengen punya anak laki-laki, apalagi mengingat rumah sakit keluarga yang pasti perlu orang untuk melanjutkan, Mami sangat semangat waktu itu."

"Terus pas Anara lahir, Mami sama Papi sedih? Karena anaknya bukan laki-laki?"

"Dulu memang sempat kecewa, tapi Anara tetap anak kami. Apapun jenis kelaminnya, Anara tetap darah daging kami. Kami sangat menyayangi Anara."

Perkataan Papi membuatku terdiam sesaat, menginginkan anak dengan jenis kelamin tertentu memang justru membuat sebuah harapan, dan jika harapan tersebut tidak terwujud maka rasa kecewa pasti akan terasa. Aku tidak pernah memikirkan jenis kelamin anakku, baik laki-laki ataupun perempuan aku akan menyayangi mereka, aku tidak terlalu memperdulikan jenis kelamin anakku nanti.

"Lagipula kelakuan Anara memang mirip seperti laki-laki, jadi itu sudah cukup untuk kami." Ujar Papi membuatku tertawa kecil.

"Anara dulu memang tomboy, bahkan Ardan sendiri kaget waktu ketemu sama Anara di Jakarta, beda banget sama waktu SMA dulu."

Perbincanganku berlanjut sampai tak terasa sudah 2 jam lamanya aku bermain catur sambil mengobrol ria dengan Papi. Semuanya ku ceritakan, mulai dari pertemuanku dengan Anara di SMA dan pertemuan kembali kami setelah sekian lama di Jakarta.

Sore ini Papi menyuruhku untuk membawa Anara ke rumah sakit, bertemu dengan Dr. Reli. Dokter spesialis kandungan yang diminta Papi khusus untuk menjadi dokter bagi Anara.

Tapi sebelum pergi ke rumah sakit, aku berinisiatif untuk mengajak Anara ke sebuah restoran. Anara hanya makan sedikit hari ini, entah bagaimana caranya aku harus membuat Anara makan dengan lahap hari ini.

"Kok kita malah kesini?" Tanyanya kebingungan.

"Kita makan dulu."

"Kamu masih laper emang?"

"Bukan buat aku, tapi buat kamu." Ujarku singkat kemudian keluar dari mobil dan berputar berniat membukakan pintu mobil untuk Anara.

"Tapi aku gak laper, kita langsung ke rumah sakit aja."

"Kamu cuma makan sedikit akhir-akhir ini, hari ini aja kamu cuma makan beberapa suap. Pokoknya kamu harus makan sebelum kita ke rumah sakit." Tegasku sambil menarik Anara masuk ke restoran.

Ekspresi Anara terlihat sangat kesal setelah aku memesankan makanan untuknya.

"Aku kan udah bilang. Aku gak lapar, Ardan." Ucapannya membuatku sedikit terkejut, Anara jarang sekali memanggil namaku seperti itu. Sepertinya dia marah padaku.

"Sayang, aku mau nanya sama kamu. Kamu cinta gak si sama aku?"

"Pertanyaan kamu aneh banget."

"Aku nanya, kamu cinta gak sama aku?"

"Kalo aku gak cinta sama kamu, aku gak mungkin hamil anak kamu. Apaan si, pertanyaanya aneh banget."

"Kalo kamu cinta sama aku, kamu harusnya makan. Kamu sekarang punya tanggung jawab buat anak di perut kamu. Walaupun kamu gak mau makan, kamu tetep harus makan. Anak kita harus makan, sayang." Anara terdiam sambil menatapku, sepertinya perkataanku berhasil. "Kamu tau aku khawatir banget sama kamu, mual aku aja bikin aku khawatir apalagi sekarang kamu gak mau makan."

Setetes air mata yang mengalir di pipi Anara secara tiba-tiba membuatku terkejut. Kok jadi nangis?

"Maafin aku, maafin Bunda juga ya, Nak. Bunda makan kok, bunda mau makan." Ujarnya membuatku tersenyum kecil. Emosinya yang berubah-ubah itu membuatku sangat gemas melihatnya.

Ah, Anara. Kenapa bisa sangat menggemaskan begini.

Aku begitu menyukai Anara. Aku suka matanya, hidungnya, bibirnya, senyumannya, rambutnya, semua hal tentangnya. Tak pernah kubayangkan akan hidup bersamanya, dia segalanya untukku.

Nenek, aku sangat bahagia sekarang. Aku berjanji akan selalu menjaga Anara dan menjaga anak kami selamanya.

Kelak, saat anak kita sudah dewasa aku akan menceritakan kisahku dengan Anara. Kisah cinta yang amat rumit dan tak mudah. Ayah harap kamu akan selalu sehat dan menjadi kebahagian bagi kami, Nak.


Tamat


Guys... ceritanya udah tamat nih. Ada kesan pesan gak nih buat cerita ini?

Buat Ardan mungkin?

Atau buat Anara?

Buat Papi Mami Anara?

Buat Anaya, Mas Adi atau Evan?

Buat Papa sama Mama Ardan?

Buat Arkan?

Buat Feni?

Buat Rendi?

Atau mungkin buat author sendiri? xixixi

Makasih banyak buat para readers setia cerita ini, maaf kalo ceritanya terkesan buru-buru gini tamatnya. Tetep semangat temen-temen, see you di cerita selanjutnya:)

My First Love is My SecretaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang