Chapter54

237 10 0
                                    


Dulu, saat masih kuliah aku selalu beranggapan bahwa seorang mertua pastilah sangat menakutkan. Penuh dengan peraturan, larangan dan perintah yang akan membuat kehidupan menantunya menjadi suram. Tapi setelah mengenal orangtua Ardan, mertuaku. Tanggapanku hilang begitu saja, nyatanya baik Mama maupun Papa adalah orang yang ramah, easy going dan yang terpenting sangat menyayangiku seperti mereka menyayangi anaknya sendiri.

Cara bicara, sorot mata dan cara mereka memprilakukanku membuatku senang sekaligus lega. Rasanya seperti bertemu dengan Papi dan Mami dengan versi keduanya. Aku bersyukur memiliki mertua yang menyayangiku dan membuatku nyaman.

Pandanganku beredar menatap sekeliling kamar bernuansa abu dan putih milik Ardan. Ini memang bukan kali pertama aku melihat kamar Ardan, tapi setiap melihat kamar Ardan rasanya damai saja. Perpaduan dua warna yang sangat membuat kamar terkesan maskulin dan dingin tapi tetap enak di pandang.

Walaupun sudah tidak ditempati, kamar Ardan masih tetap bersih dan tidak berubah sedikit pun. Bi Inah masih selalu membersihkan kamar Ardan setelah Ardan pindah rumah, katanya bisa mengobati rasa rindu dengan Den Ardan. Mengingat kedekatan Ardan dengan Bi Inah membuatku tersenyum kecil.

Perabotan didalam kamar juga terbilang sedikit, hanya ada sebuah tempat tidur dan sebuah nakas dipinggirnya. Kamar Ardan memang memiliki beberapa bagian, disamping kanan ada sebuah kamar mandi dengan walk in closet, tempat berjejernya setelan Ardan dan berbagai perlengkapan seperti dasi, sepatu dan jam tangan. Sementara disebelah kiri terdapat sebuah ruangan yang tidak terlalu besar, berisikan sepasang meja dan kursi lengkap dengan dinding rak buku berisikan dokumen-dokumen yang kutebak berhubungan dengan perusahaan Cakra Dara.

Ardan memang terbilang gila kerja saat dulu. Mama bilang kegiatan yang Ardan lakukan dirumah hampir 70% duduk didepan komputer dan tumpukan dokumen. Sangat berbanding terbalik dengan Kak Arkan. Mama bilang Kak Arkan justru tidak menyukai pekerjaan kantoran seperti Ardan, dia justru menyukai kebebasan.

Kurasa inilah juga yang menjadi alasan mengapa Papa lebih mempercayai Ardan daripada Kak Arkan untuk urusan perusahaan. Dan selama aku menjadi sekretarisnya dulu pun, aku bisa menilai bahwa kinerja Ardan tidak main-main, dia memiliki tujuan dan target yang tinggi.

Wajar saja, diusia Papa yang sudah tidak bisa dibilang muda lagi, Papa harus mulai menyerahkan urusan perusahaan pada seseorang yang tepat dan dapat dipercaya. Ardan memiliki kriteria itu, sejak kecil Ardan memang memiliki kepribadian yang cerdas dan tidak pernah lepas dari buku ditangannya. Papa menyayangi Ardan seperti anak sendiri, terlebih setelah kejadian yang terjadi pada Kak Arkan Papa jadi semakin yakin untuk memberikan kepercayaan kepada Ardan.

Terlepas dari itu, Ardan selalu menolak penawaran Papa. Bahkan sebelum mengetahui bahwa dia bukan anak kandung Mama dan Papa, Ardan selalu tidak merasa enak jika harus melangkahi Kakaknya sendiri. Aku mengerti perasaan Ardan.

Tapi lambat laun keputusan Ardan juga tidak bisa terus dipertahankan, mengingat usia Papa dan Kak Arkan yang sekarang sedang berada di Belanda. Apalagi setelah perkataan Kak Arkan di taman hari itu, Ardan berkata akan membicarakan hal ini dengan Papa.

Aku tidak tahu keputusan apa yang akan Ardan ambil, apa Ardan akan kembali memimpin perusahaan pusat di Jakarta atau masih di perusahaan cabang di Bogor. Apapun keputusan Ardan aku akan tetap mendukungnya, yang terpenting adalah Ardan nyaman dan bahagia menjalankan semuanya.

Suara pintu yang terbuka membuatku menoleh, Ardan melangkah masuk kemudian duduk disampingku, menatapku dengan tatapan yang sulit ku mengerti.

"Jadi gimana?" Tanyaku hati-hati, Ardan baru saja kembali seusai mengobrol dengan Papa terkait ucapan Kak Arkan. Hampir 2 jam lamanya mereka mengobrol setelah makan malam bersama tadi.

My First Love is My SecretaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang