Chapter01

1.7K 55 1
                                    

| Ketika Takdir Mempertemukan Kita Kembali, layaknya hantu yang masih bergentayangan. Percayalah, ada suatu urusan yang belum terselesaikan di antara kita |

〰️▫️◽◻️⬜💜⬜◻️◽▫️〰️

Perjalanan 1 jam 30 menit dari bandara juanda ke bandara soekarno hatta memang tidak terlalu lama, tapi cukup membuatku lelah. Keluar dari zona nyaman adalah keputusan final yang sudah aku fikirkan secara matang beberapa hari terakhir, ya ... Walaupun menurutku sudah tidak pantas lagi disebut dengan zona nyaman karena keputusan konyol kedua orangtuaku.

Hufh ... aku akan mulai beradaptasi di kota berpenduduk ±10,57 jt jiwa ini, sebenarnya ini bukan kali pertama aku bepergian antar kota tapi masalahnya aku tidak pernah pergi sendiri. Selalu ada orang yang menemani baik keluarga ataupun teman, aku juga sempat beberapa kali pergi ke Jakarta mengunjungi kakakku dulu tapi lain halnya sekarang, tujuanku adalah untuk tinggal sendiri setidaknya sampai keadaan dirumah membaik.

Ah aku jadi menyesal karena dulu tidak kuliah disini saja, mengikuti kakakku ternyata bukan hal yang buruk. Mungkin jika dulu aku kuliah disini aku sudah beradaptasi dan mengenal Jakarta, tidak seperti sekarang setelah menginjakan kaki di Jakarta aku sedikit kebingungan.

Langkah kakiku terdengar seiring koper berwarna toska yang ku seret bersamaku menggelinding di lantai, beberapa orang berlalu lalang disini ada juga yang sedang duduk manis sembari menunggu. Rambut coklatku terkibas saat diriku menengok ke kanan dan kiri, ah apa yang kucari? Disini tidak ada yang akan menyambut kedatanganku.

Ku aktifkan ponselku yang semenjak beberapa jam yang lalu memang ku matikan, aku sudah tidak terkejut lagi saat membukanya. Banyak panggilan tak terjawab dari keluargaku, teman-temanku dan yang paling banyak dari kakakku.

Ah ... bicara soal kakakku, dia saudara yang friendly denganku, dulu saat aku masih sekolah aku sering bercerita pada kakakku baik tentang pribadiku maupun teman-temanku. Jadi tak heran kakakku ini memang lebih bawel padaku ketimbang Mamiku sendiri. Dia selalu mengerti diriku, tidak masalah dengan sikap bandelku dan selalu menyemangati apapun keputusanku. Tak tahu sekarang, karena aku sama sekali tidak memberitahu siapapun akan pergi ke Jakarta dan tinggal disini, termasuk pada Kakakku.

Ini dia, baru saja kupikirkan, kakak satu-satuku ini menelponku kembali. Aku tidak tau bagaimana reaksinya nanti setelah tahu jika aku pergi ke Jakarta. Ku geser tombol hijau untuk mengangkat telponnya, bisa habis aku jika sampai tidak mengangkatnya lagi.

"Halo? Ana? Ana?! Kamu dimana? Kenapa susah sekali dihubungi?!"

Oh teriakannya membuatku sedikit menjauhkan ponsel dari telinga. Dari nadanya saja ku tau bahwa dia sangat khawatir, meskipun kita memang sering adu mulut tapi kita tetap saudara kandung serahim yang saling menyayangi dan melindungi.

"Halo?! Ana?! Denger kakak ngomong gak?!"

"Iya-iya, Ana denger kok. Ngomongnya biasa aja bisa gak si kak? Mau punya adik budeg?!"

"Abisnya kakak telponin nyampe seribu kali gak aktif-aktif, bikin khawatir aja tau gak?! Mami sama Papi nyariin kamu sampe gempar satu rumah, baju kamu juga gak ada di lemari katanya, kamu dimana?!"

Inilah Kakakku yang bawelnya melebihi Mamiku sendiri. Baru beberapa waktu jauh darinya saja aku sudah rindu, apa aku akan kuat jauh dari keluargaku dalam jangka waktu lama?

"Lebay! Baru 69 panggilan gak ke jawab juga dibilang seribu!"

"Kamu dimana hah?! Kabur ya?"

"Iya, Ana baru aja nyampe bandara soekarno hatta jadi—"

"Kamu di Jakarta? Ngapain? Kabur jauh-jauh amat Na?"

My First Love is My SecretaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang