Chapter36

395 25 11
                                    

| Perasaan Itu Tidak Hanya Tergambarkan Lewat Kata Tapi Bisa Juga Lewat Perbuatan |

〰️▫️◽◻️⬜💜⬜◻️◽▫️〰️

Bibirku refleks terangkat membentuk sebuah senyuman saat melihat Pak Ardan masih belum bangun, bisa ku jamin badannya pasti akan terasa sakit saat bangun nanti.

Tak apa jika sikapnya sedikit berubah padaku, wajahnya menjadi datar setiap melihatku maka dari itu tugasku sekarang adalah membuatnya seperti dulu lagi. Tidak akan ku biarkan dia meninggalkanku dengan cara melepasku seenaknya, tidak akan pernah. Tidak tahu kenapa, tapi rasanya aku harus melakukan suatu hal.

Kulangkahkan kaki ke arah dapur yang mungkin dalam beberapa hari ini akan menjadi tempat favoriteku. Sekretaris Kak Arkan tidak bisa langsung pindah karena dia juga harus mengurus beberapa hal di perusahaan cabang, sementara di perusahaan inti sudah ada Safa yang membantu Kak Arkan.

Mataku berbinar melihat isi lemari es, Pak Ardan tidak seperti Kak Arkan. Kak Arkan bilang dia memang bisa masak dan itu terbukti dari banyaknya bahan makanan yang memenuhi lemari es.

Hufh ... Mengingat Kak Arkan aku menjadi sedikit tak enak, apa dia benar baik-baik saja? Apa aku tidak terlalu jahat menolaknya dan langsung meninggalkannya? Tapi aku pergi ke Bogor bukan untuk menghindari Kak Arkan, aku kesini karena Pak Ardan.

Cuaca pagi ini sedikit mendung, Bogor memang pantas di sebut kota hujan apalagi di Indonesia memang tengah memasuki musim penghujan. Jalanan saja masih terlihat basah akibat hujan semalam, mengingat kejadian semalam membuatku tersenyum kecil.

Setelah sedikit berdebat denganku semalam, Pak Ardan langsung keluar kamar dan tidur di lantai bawah. Aku memberinya selimut dan bantal tapi dia menolak, dasar keras kepala! Seperti tidak pernah satu kamar denganku saja! Lah? Kenapa aku malah kesal? Seharusnya aku senang karena Pak Ardan tidak tidur denganku. Sadar Anara!

Setelah memotong sayuran aku beralih memotong daging ayam, karena suhu lumayan dingin kuputuskan untuk membuat sup daging ayam saja. Beruntung bahan-bahan sudah lengkap, jadi aku tinggal meraciknya saja.

Telur yang sudah ku rebus kemudian mulai ku kupas kulitnya, berniat akan ku buat rendang. Tinggal sayuran yang tadi, aku menumisnya menjadi capcai jamur karena tidak ada bakso di lemari es.

Tidak sia-sia aku sering membantu Bibi dulu, ternyata perkataan Mami benar. 'Perempuan itu harus bisa masak, ntar juga bakal berguna'.

Dulu Mami sering memasak Rendang tanpa sepengetahuan Papi, lidahku memang asli Indonesia, jadi aku sangat menyukai masakan yang memiliki banyak bumbu seperti Rendang. Papi memang melarangku agar tidak terlalu sering memakan makanan seperti Rendang karena Papi bilang tidak baik untuk kesehatan. Aku yang memang keras kepala selalu memaksa Mami agar memasaknya untukku tanpa sepengetahuan Papi. Aku jadi rindu mereka.

Senyum tipis terbit di bibirku saat melihat bayangan Pak Ardan di kaca lemari dinding yang berada di atas meja pantry. Bisa kulihat dia tersenyum simpul, aku tahu dia tidak akan berlama-lama marah seperti itu.

"Ayo duduk Pak, sarapan dulu." Ujarku tanpa menoleh membuat Pak Ardan gelagapan. Dia pasti tidak tahu jika aku melihatnya dari kaca, aku berbalik kemudian tersenyum sekilas pada Pak Ardan yang mulai berjalan mendekat.

"Suruh siapa masak?" nada bicara Pak Ardan terdengar dingin, baiklah. Sepertinya aku harus sabar menghadapi tingkah kekanakannya.

"Gak ada yang suruh, saya laper jadi saya masak." Ujarku sambil meletakkan masakan yang sudah jadi di depan Pak Ardan.

Aku menatap puas hasil masakanku. Sup daging ayam, rendang telur, capcai jamur dan nasi hangat lengkap dengan kerupuk. Kerupuk seharusnya tidak pernah hilang dari meja makan orang Indonesia seperti kita.

My First Love is My SecretaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang