| Nyatanya Hatiku Selalu Tidak Baik-baik Saja Saat Berada Di Dekatmu |
〰️▫️◽◻️⬜💜⬜◻️◽▫️〰️
Aneh, itulah kata yang tepat untuk Papi saat ini. Melihatnya akrab dan tersenyum pada Pak Ardan sungguh membuatku heran, Papi bukan tipe orang yang akan tersenyum pada orang yang baru beberapa hari dia kenal. Tapi anehnya tidak pada Pak Ardan, malah Papi sempat tertawa tadi. Ada apa ini? Secepat ini mereka dekat?
"Eh Anara? Kamu kok kesini? Kaki kamu gimana? Mending istirahat daripada ntar malah lama sembuhnya." Datang-datang aku sudah kena semprot Pak Ardan, aku bingung. Disini pria di depannya lah yang menjadi orangtuaku tapi kenapa malah Pak Ardan yang terdengar seperti Papiku?
Aku tidak memperdulikan perkataan Pak Ardan, kakiku memang masih sulit bergerak tapi ini sudah lebih baik dari tadi pagi. Pikiranku masih terarah pada keakraban mereka berdua, Papi dengan santai menggeser kursi disampingnya agar aku bisa duduk.
Selesai makan malam mereka langsung nongkrong berdua dihalaman belakang sambil main catur, ada yang mencurigakan.
"Kenapa malah keluar? Nanti masuk angin." Papi mengelus rambutku saat Pak Ardan menjalankan kudanya.
"Dia itu keras kepala orangnya Pak, gak bakal mempan." Pak Ardan beralih menatapku, ada apa dengan mereka? Kenapa disini aku merasa di pojokkan?
"Ck! Lebih keras kepala siapa? saya atau Bapak?"
"Bapak?"
"Eh, ka-kamu?" Pak Ardan dan Papi saling melempar pandangan kemudian tersenyum tipis. Fiks, Ada yang tidak beres disini.
"Skak ster!" Aku tersenyum melihat pergerakan kuda Papi, Papi memang jago catur dari dulu. Mas Adi saja selalu kalah darinya dan berakhir dengan membelikan Papi bubur ayam di pagi harinya. Ya, Papi memang selalu bertaruh sesuatu jika bermain catur tapi bukan taruhan yang akan merugikan salah satu pihak, hanya taruhan biasa dan sekarang aku tidak tau apa yang mereka pertaruhkan.
"Bapak terlalu fokus ke depan sehingga bapak melupakan sesuatu dibelakang. Skak mat!" Pak Ardan memakan kuda putih Papi menggunakan gajah, ternyata gajah hitam Pak Ardan sedari tadi sudah menunggu di depan, dan sayangnya tepat juga dengan posisi skak mat pada Raja Papi yang berada diantara Pion sehingga Raja Papi tidak bisa kemana-mana ataupun ditutup.
Aku mengerjap sambil terus meneliti apakah masih ada cara untuk melawan tapi tidak ada, Pak Ardan menang. Wow ... Baru kali ini aku melihat Papi dikalahkan.
Pak Ardan tersenyum bangga sambil melipat tangannya diatas dada, tak jauh beda dengan Pak Ardan, anehnya Papi juga malah tersenyum.
"Oh baiklah, saya kalah." Ujar Papi sambil bersender pada kursi kemudian beralih menatapku.
"Sudah makan?" Aku mengangguk, tadi Bi Tri mengantarkanku makanan ke kamar padahal aku sudah berniat untuk makan bersama di bawah.
"Kapan kalian kembali ke Jakarta?" Kini Papi beralih menatap Pak Ardan. Apa Papi kini ingin mengusirku?
"Sepertinya nunggu kaki Anara sembuh dulu,"
"Ok, tolong jaga Anara disana ya. Jangan sampai dia makan mie disana, saya tau kebiasaan buruknya ketika tidak ada keluarga yang mengawasi. Jadi saya serahkan pada kamu saja."
Astaga! Kenapa ucapan Papi selalu tepat? Jangan sampai Pak Ardan mengatakan stok mie di apartemen!
"Saya mengerti, tapi soal mie An— Mph" Papi menatapku heran karena tiba-tiba aku memasukan salah satu pion hitam ke mulut Pak Ardan. Hampir saja dia membocorkan informasi, dasar!
KAMU SEDANG MEMBACA
My First Love is My Secretary
Romance[FOLLOW SEBELUM BACA!] "Dia gadis SMA yang sempat menolak cintaku dulu, lihat sekarang! Dia bahkan datang kepadaku dengan sendirinya, takdir memang adil ya?" Ardan Cakra Mahendra, CEO muda yang dulunya seorang cowok cupu yang dicampakan oleh seoran...