Chapter06

820 32 0
                                    

| Aku Tidak Mengerti Dengan Diriku Sendiri, Yang Jelas Melihatmu Tidak Seperti Biasanya Membuatku Sangat Khawatir |

〰️▫️◽◻️⬜💜⬜◻️◽▫️〰️

"Siang ini Bapak ada jadwal makan siang dengan klien Pak," ujarku, Pak Ardan mengangguk mengerti. "Kalau begitu saya permisi." Sambungku.

Tiada hari tanpa perintah konyol yang selalu berhasil membuatku kesal dari Ardan. Tapi hari ini ada yang aneh dengan gelagat Pak Ardan, sejak pagi aku melihat wajahnya sedikit pucat dan juga hari ini dia belum memberi perintah konyol lagi kepadaku. Ah aku harusnya senang, bukan malah merasa heran begini kan?

Aku tidak tau kenapa tapi rasanya aku tidak bisa konsentrasi, setelah selesai membuat jadwal pertemuan dengan klien di Medan aku kembali merasa cemas, dari cara dia menatapku saja sudah berbeda. Matanya terlihat sayu tak bersemangat seperti biasanya, apa dia sakit? Ah untuk apa aku mengkhawatirkannya? Sudahlah Anara, biarkan saja dia.

Dari pada memikirkannya lebih baik aku melanjutkan tugasku, ada fax dan e-mail yang harus ku kirim ke pihak cabang perusahaan yang ada di Bogor.

Pekerjaan hari ini membuatku bosan, aneh. Biasanya aku tidak merasa bosan seperti ini. Ah aku harus mengingatkan Ardan bahwa setengah jam lagi akan ada meeting dengan tim perancang, bicara soal tim perancang, aku pernah melihat divisi perancang. Mereka berada di lantai 10, lantai yang dipenuhi dengan orang-orang jenius menurutku, mereka pandai sekali merancang desain bangunan modern.

Setiap kali aku kesana pastilah hanya hening yang terdengar, mereka sibuk membuat pola-pola dikomputer sampai-sampai tidak ada yang bersuara. Beda sekali dengan tim pendataan di lantai 15, tempat Feni bekerja. Disana sangat berisik, tidak laki-laki tidak perempuan sama-sama suka sekali membual hal yang tidak penting. Tapi kadang itulah yang membuat suasana tidak membosankan.

"Maaf Pak, anda ada jadwal meeting setengah jam lagi." Ujarku mengingatkan, aku melihat Arkan tengah menutupi wajahnya sendiri.

"Tolong gantikan saya, catat saja semua hal yang dibahas." Balasnya terdengar lirih, aku jadi sangat penasaran membuatku dengan berani kembali bertanya.

"Bapak kenapa? Bapak sakit?" tanyaku sambil menempelkan telapak tangan di dahinya, benar saja badannya terasa hangat. Dia sepertinya sedang tidak enak badan, mungkin karena akhir-akhir ini dia sering lembur karena pekerjaan yang menumpuk.

"Saya tidak papa, tolong wakilkan saya. Saya ingin istirahat sebentar." Ujarnya, aku mengerti dan segera keluar dari ruangannya berinisiatif membuatkannya teh hangat dan mengambilkannya obat penurun panas, semoga saja dia baik-baik saja.

Ku buka pintu ruangan dan kembali dengan membawa nampan berisi teh hangat dan obat untuknya. Ardan tampak tengah bersender di kursi kebesarannya dengan kedua mata yang tertutup rapat.

Tak ingin mengganggunya, aku langsung saja menyimpan nampan tadi diatas meja kerjanya. Meja kerjanya memang berbentuk menyudut, samping kanannya terdapat beberapa berkas yang tersusun dan beberapa barang-barang kantornya tempat biasa dia mengecek berkas. Sementara meja samping kirinya khusus untuk komputer lengkap dengan keyboard, CPU dan mouse disampingnya.

Baru saja aku berbalik ingin keluar Ardan membuka suaranya, sepertinya dia terganggu.

"Mau kemana?"

Aku kembali berbalik menatapnya, matanya terlihat sayu dan sedikit memerah. Anehnya aku merasa tak tega melihatnya walaupun setiap hari dia selalu membuatku kesal.

"Saya harus bersiap untuk meeting Pak, minum obatnya dan istirahat saja. 2 hari lagi ada jadwal pertemuan dengan klien di Medan." Ujarku lembut, dia tampak kembali menutup matanya.

My First Love is My SecretaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang