#37 bercak merah?

65 7 1
                                    

"Pak, Acha boleh nanya sesuatu nggak?" tanyaElvanAcha, kini mereka berada di balkon kamar Elvan. Daffin duduk dikursi sambil menikmati teh yang Acha buat. Sedangkan Acha, ia berdiri menikmati hembusan angin malam.

"Mau nanya apa?" tanya balik Elvan

"Tentang ucapan Kak Ale,"

Elvan mencoba mengingat. Namun, masih cukup binggung karena ucapan Ale bukan hanya satu, melainkan banyak.

"Ucapan yang mana?"

Acha mendekati Elvan dan duduk dikursi satunya lagi. Sebenarnya ia ragu untuk menanyakan hal tersebut, takut Elvan merasa tersinggung.

"Tapi Bapak jangan tersinggung atau marah sama Acha. Acha cuman penasaran dan kalo Bapak berkenan, Acha ingin tau jauh tantang keluarga Bapak." tutur Acha hati-hati.

"Kenapa? Apa kamu ngerasa kepikiran sama ucapan Ale tentang kakak saya?"

Jantung Acha sedikit berdebar melihat tatapan datar Elvan.

"Apa Acha salah ingin tau tentang keluarga Bapak?" jawab Acha menunduk.

Elvan menarik napas pelan,"Tapi itu semua nggak penting, qel. Saya sekarang cuman punya mama, kamu dan keluarga kamu." jawab Elvan

Acha melihat Elvan beranjak dari duduknya dan masuk kedalam kamar. Acha menarik napas dalam, apa dia salah bertanya tentang itu?

"Ternyata gini rasanya kalo udah nikah, yaAllah! Mudah banget salah paham, padahal awalnya nggak maksud apa-apa. Pusing, untung suami."

***

Elvan duduk ditepi ranjangnya. Ia menatap kearah balkon. Ia menarik napas pelan, ia kira, Acha akan membujuknya atau paling tidak ikut masuk bersamanya tadi. Sebenarnya Elvan tidak marah, hanya saja, menghindari Acha sepaya tidak bertanya lebih jauh tentang keluarganya.

"Berharap banget sih Van Lo dibujuk sama Aqeela. Palingan juga dia nggak peduli Lo marah atau nggak!"

Elvan melihat Acha masuk kedalam. Ia dengan segera memposisikan diri seolah orang yang cuek dengan cara sibuk membuka hp.

Acha menatap Elvan dan malah bersikap Acuh, ia langsung pergi ketoilet. Keluar dari toilet, Acha sudah melihat Elvan membaringkan diri di kasur, namun tidak lupa dengan tangan yang masih mengotak-atik ponselnya.

Acha berbaring dengan pelan dan membelakangi, Elvan. Sebenarnya Acha memang selalu tidur begitu, ia masih belum terbiasa dan masih merasa canggung. Dan Elvan juga tidak pernah melarang atau menegurnya.

"Kok dari tadi perut Acha rasanya agak beda ya," batin Acha.

"Ini tanggal berapa?" Acha mengambil hp yang ia simpan diatas meja samping ia tidur. "Pantesan!" lanjut Acha dalam hati.

Acha memilih menahan rasa sakit itu. Ia mulai memejamkan matanya, berharap sakitnya tidak akan terasa  ketika dibawa tidur.

Sekitar jam 10 malam, Acha tidak kunjung tidur juga. Sedari tadi ia menahan sakit diperutnya karena tidak ingin membuat Elvan khawatir. Acha menatap Elvan yang sudah tertidur dengan pulas. Ia bernapas lega.

Acha beranjak dan pergi keluar menuju dapur untuk memakan obat yang insyaAllah bisa membantu mengurangi sakit perutnya.

"YaAllah, kok sakit banget ya," batin Acha. Ia mulai membuka lemari yang ada didapur. Acha membuka beberapa lemari, karena ia lupa dimana ia menyimpan obat tersebut.

Acha mencoba membuka lemari, berharap obat tersebut ia simpan disana dan ternyata, ya. Acha mulai mengambil obat tersebut dan membawanya ke meja makan.

Setelah selesai meminum obat, Acha mulai menangkupkan wajahnya dimeja. Acha mencoba menetralkan rasa sakit diperutnya.

"Aqeela, kamu kenapa?" Acha mulai mengangkat kepalanya dan kaget melihat Elvan sudah berdiri disampingnya.

"Bapak?" kaget Acha

"Kamu kenapa?" tanya Elvan lagi

Acha sedikit menggeleng ,"Acha baik-baik aja,"

"Terus ngapain kesini? Dan ini," Elvan mulai mengambil obat yang Acha minum diatas meja.

"Kamu sakit?"

"Acha udah bilang, Acha nggak papa!" Acha bangkit dan mengambil obat itu dari tangan Elvan. Ia kembali menyimpannya kedalam lemari.

"Acha kalau kamu sakit, bilang sama saya! Kita kedokter."

"Acha bilang nggak papa." Acha mulai meninggalkan dapur dan berniat ingin kembali ke kamar.

Elvan memperhatikan Acha berjalan yang terlihat agak bungkuk.

"Terus kenapa kamu jalan kaya begitu?"

Acha berhenti didepan tangga mendengar tuturan, Elvan. Ia kembali menegakan badannya.

"Kenapa? Perasaan Acha jalannya biasa aja,"

Acha menampilkan senyum disaat Elvan menatapnya dengan curiga.

"Acha ngantuk, pak! Tidur yuk, " ajak Acha terkekeh, membuat Elvan berhenti menatapnya.

"Tapi Kamu yakin nggak papa? Wajah kamu pucet loh,"

"Udah tengah malam pak, jadi wajar pucet. Wajah Bapak aja pucet, makanya tadi Acha sempet kaget pas liat Bapak. Acha kira tadi penampakan," jawab Acha asal

Acha melihat ekspresi kesal Elvan. Ia tersenyum,"tapi nggak deh. Yaudah,"

Acha naik dan diikuti Elvan. Sakit diperutnya masih terasa, namun agak mendingan dibandingkan tadi.

Acha berniat ingin pergi ketoilet untuk mengecek apakah ia datang bulan atau tidak. Namun, ia urungkan karena Elvan terlebih dahulu masuk.

Acha duduk dikasur sambil membuka hpnya. Membalas notif dari beberapa temannya.

"Qel, kenapa belum tidur?"

"Mau ketoilet dulu, pak! Bapak udah?"

Elvan mengangguk dan mendudukkan dirinya diatas kasur. Disaat Acha bangkit, ia melihat kasur yang berwarna cream itu terdapat bercak merah.

"Qel, kamu berdarah?"

Acha langsung kaget. Dan ternyata benar, ia datang bulan. Acha nyenggir malu. Bisa-bisanya, aduhhh.

Elvan dengan panik menghampiri Acha."kita ke dokter, ya!"

Acha sedikit kaget,"Ha, apa-apa an sih pak, kok kedokter segala,"

"Nanti bahaya qil. Kamu liat, sampe berdarah begitu, pasti tadi kamu makan obat karena kamu merasa kesakitan kan?"

"Iya, tapi ...,"

"Nah, makanya sekarang kita periksa dulu. Kita kerumah kamu,"

"Aduh pak, dengerin Acha dulu bentar. Acha nggak papa! Serius! Itu cuman darah haid,"

"Apa maksud kamu?" tanya Elvan binggung

Acha membuang napas keluhan,"Bapak nggak tau? Bapak check Google deh! Acha mau ketoilet dulu,"

Acha berlalu, ia pergi mengambil pakaian ganti dan langsung masuk kedalam toilet.

"Qil, maksud kamu apa sih,"

Acha tidak mendengarkan Elvan. Sedangkan Elvan? Ia melakukan apa yang Acha suruh. Elvan berjalan menuju sofa untuk duduk disana. Elvan mengangguk mengerti setelah mencari tau maksud Acha.

Tak lama ia melihat Acha keluar dari toilet.

"Bapak punya alas lebih nggak buat ganti yang itu?"

"Punya. Bentar, biar saya ambil, dulu!" Elvan beranjak dan pergi keluar kamar. Entah dimana Elvan menyimpan barang itu.

Acha membuka alas kasur tersebut, supaya ketika Elvan datang sudah siap pakai.

"Aduh Acha, maluin banget sih kamu,"

Happy reading 📌 💞

Aqeelan [END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang