Sebelumnya...
"Samlekommm.. Maaaa.. Mamaaaa"
Esa membuka pintu dengan suara lantang sambil mencari keberadaan Mama Rena. Biasanya, ketika Ia pulang malam begini Mamanya sudah berdiri di depan pintu dengan tangan bersidekap di dada sambil menunggu kedatangannya. Tentu sambil mengomel kalau Esa tak mengangkat panggilan telfon. Tapi sekarang rumahnya kok sepi-sepi saja?
"Mamaaa.."Esa menaiki tangga menuju lantai dua dan membuka pintu kamar utama. Kosong. Esa berdecak kesal, tadi perasaan Mamanya berisik menelfon dan menyuruh untuk segera pulang tapi sekarang malah tidak ada di rumah. Esa kemudian berjalan menuju ke kamarnya sendiri.
"Lah? Mama ternyata malah disini. Dari tadi Aku panggilin juga--Maa??"Esa tak jadi melanjutkan ucapannya saat mendengar suara isakan dari Mamanya.
"Maa, Mama kenapa?"tanya Esa panik sekaligus bingung. Apalagi saat Mama yang langsung menyingkirkan tangannya yang tadi sempat menyentuh bahu wanita itu.
"Kamu tega ya Sa bohongin Mama!!"
Esa mengernyit bingung masih tak paham dengan maksud ucapan Mamanya barusan.
"Mama udah tau semuanya. Kamu nginep di rumah Nenek cuman dua hari. Tiga harinya Kamu dimana hah!?"
Deg.
Jantung Esa langsung berdegup tak beraturan usai mendengar penuturan Mamanya. Esa mulai berpikir keras untuk mencari alibi yang tepat sebelum dia betulan kena amuk sama Mama Rena. Gawat.
"Aku--"
"Udahlah gak usah cari alesan! Mama udah tau semuanya! Kamu nginep sama Nana kan!? Kamu apain anak orang Esaa!! Ya Tuhan.. Gak habis pikir Mama sama Kamu!!"teriak Rena sambil menangis dan memukulkan badan Esa dengan bantal. Melampiaskan rasa kesal dan kecewanya pada anak tunggalnya.
"Mama tuh capek Esa! Punya anak cuman satu tapi susah banget buat di kasih tau. Waktu itu seharusnya Mama masukin aja Kamu ke pesantren sama kayak Kenzie biar Kamu bisa paham agama! Mama sama Papa berasa gagal didik Kamu!"
Esa masih diam, tak berani buka suara ataupun menghindar dari pukulan mamanya. Anak itu tau kalau dia sudah bersalah dan bertindak di luar batas. Tapi sungguh demi apapun, mendengar suara tangisan Mama membuatnya betulan merasa bersalah.
"Siapa yang ngajarin Kamu begitu hah!? Kenapa Kamu bisa seberani itu sama anak orang!! Memangnya Kamu gak kasian sama Mama dan Papa!? Gak kasian sama orang tuanya Nana!? Kalau sampai anak orang kenapa-napa karena Kamu gimana Esaaa!? Kamu bikin Mama kecewa! Sakit hati Mama Saaa. Sakittt.. Jahat Kamu!"
ucap Rena sambil menangis tersedu-sedu menunjuk dadanya. Rasa marah dan kecewanya menjadi satu membuat dadanya terasa sesak sekali."Kelakuan Kamu makin hari makin jadi. Mama udah gak bisa kontrol Kamu lagi. Kamu kepengen ngeliat Mama cepet mati--"
Esa dengan cepat langsung berlutut di depan kaki Mamanya dengan panik sambil ikut menangis juga.
"Maaa!! Esa minta maaf Maa. Esa ngaku salah, Mama jangan ngomong begitu. Esa gasuka dengernya. Esa berani sumpah Maa, disana gak terjadi apa-apa. Esa gak ngapa-ngapain Nana. Tolong maafin Esa Ma, Esa janji gak bakal ngulangin lagii.. Maafin Esa Maa.."
Kalau ucapan Mama sudah bawa-bawa mati begitu siapa yang tidak takut. Apalagi Esa yang sudah membuat Mamanya sampai menangis.
"Kalau kayak begini lebih baik Kita pindah aja ikut sama Papa. Mama udah gasanggup ngatasin Kamu sendiri lagi Sa. Mama capek"
"Enggak.. Esa gamau sama Papa.. Esa mau disini. Maafin Esa, Maa.. Esa minta maaf.."ujarnya sambil menggeleng. Mimpi buruk kalau sampai dia harus pindah ditempat kerja Papa. Jauh dari semuanya, jauh dari Nana dan Kenzie. Esa tidak mau.