Aileen terus berlari dengan cepat, sementara Leva tertinggal dibelakang. Didepannya sekarang ada koridor yang terhubung ke ketiga gedung sekolahnya.
Di sebelah utara adalah koridor menuju gedung kelas 10, di selatan menuju koridor kelas 11 dan di arah timur menuju koridor kelas 12 serta di utara merupakan koridor menuju lapangan yang langsung menuju ke gerbang utama sekolah.
Di sini sekarang Leva diam. Ia diam di koridor utama sekolah lalu melihat kesekeliling koridor yang ada di sana.
Dan Aileennya menghilang disana. Benar benar tak ada jejak. Leva berdiri di tengah tengah koridor tersebut.
Aileen tak mungkin berlari keluar sekolah. 2 menit lagi bel sekolah akan berbunyi dan gerbang sudah pasti di kunci sekarang.
Tiba tiba saja otaknya buntu. Kemana ia harus berlari sekarang? Tempat mana yang biasanya Aileen kunjungi? Ia benar benar tak tau tentang hal itu.
Leva mencari kontak Aileen di HPnya dan langsung memencet tombol telfon.
Aileen mematikan HPnya.
Leva semakin panik, kemana ia harus mencari Aileennya. Di setiap gedung, yang ia tau ada beberapa tempat yang mungkin dijadikan tempat untuk membolos dan bersembunyi.
Ada lab fisika, lab kimia, roftoop, ruang penyimpanan keperluan sekolah, ruang penyimpanan peralatan olahraga, ruang komputer kantin dan perpustakaan.
Leva menghela nafasnya. Ia harus mengecek satu persatu ruangan yang ada di gedung sekolahnya untuk menemukan Aileen.
Leva berlari ke arah gedung kelas 10, ia berlari dari ujung koridor ke ujung lainnya lalu berlari ke lantai 2 dan kembali berlari sampai ujung koridor, karena penempatan ruangan ruangan di tiap gedung berbeda beda. Sementara setiap gedung memiliki 4 lantai.
Leva memasuki satu persatu ruangan tersebut dan masuk untuk mengecek dan mencari Aileen.
Sekarang ia sudah berada di lantai 4, tetapi Aileen belum ia temukan. Leva berdoa semoga saja Aileen berada di roftoop gedung kelas 10.
Leva kembali berlari menuju roftoop, tapi di sana tak ada siapapun, hanya ada sampah dan kursi kursi tak terpakai.
Leva menghela nafasnya.
Sialnya gedung satu dengan gedung lainnya tak memiliki tangga penghubung yang membuatnya harus turun lagi dan kembali naik ke lantai atas nantinya.
Ia langsung turun menuju koridor utama lagi. Tak ada waktu untuk istirahat, bisa saja Aileennya berpindah tempat.
Leva berlari ke arah gedung kelas 11. Ia juga mengulangi hal yang sama, berlari dari ujung ke ujung koridor, lalu masuk ke kelas Aileen yang sedang freeclass dan menanyakan keberadaan Aileen dengan nafas yang tak beraturan.
Tapi teman kelasnya mengatakan tak melihat Aileen sejak pagi. Leva Kembali berlari menuju ruangan ruangan yang berada di gedung kelas 11 hingga sekarang ia berada di lantai 4.
Rasanya Leva sudah ingin menyerah saja. Ia benar benar lelah, bahkan kakinya sudah terasa lemas karena terus berlari.
Leva memaksakan langkahnya menuju roftoop, walaupun sekarang kakinya terasa berat dan lemas karena terlalu lelah, serta keringat yang membasahi wajah dan bajunya.
Sampai di rooftop. Leva melihat punggung laki laki yang benar benar ia kenali. Aileen sedang duduk bersender pada kaki meja yang berada disana dengan membelakangi pintu roftoop.
Leva berjalan tanpa suara, ia juga berusaha mengatur pernafasannya yang tak beraturan agar bisa lebih tenang. Leva berdiri di belakang Aileen, dan Aileen tak menyadari keberadaannya.
Aileen sedang mendengarkan lagu menggunakan airpods miliknya, sambil memakan isi dari kotak makan yang tadi Aileen bawa ke kelasnya dengan air mata yang terus menetes tanpa isakan. Ia menangis dalam diam sambil menatap langit.
Dada Leva terasa sesak karena telah membuat Aileennya seperti ini, memang hubungan ini diawali dengan taruhan. Tapi sekarang perasaan leva benar benar nyata, bukan karena sekedar XSR milik Diva.
Leva menghela nafasnya untuk menghilangkan rasa sesak didadanya. Setelah itu ia melepaskan airpods yang terpasang di telinga Aileen dan melemparnya asal.
Aileen menatap Leva dengan tatapan benci dan air mata yang terus mengalir di pipinya.
Leva mengangkat kotak makan yang Aileen bawa dan menaruhnya di meja tempat Aileen bersandar. Setelah itu Leva merebahkan dirinya dengan paha Aileen sebagai bantalannya.
Terlihat sekali tatapan benci Aileen pada Leva, tapi Leva berusaha tenang.
"Aileen boleh tampar, pukul, jambak aku sekarang buat redain marah Aileen" Aileen tak menjwabnya, tetapi langsung bersiap memukul Leva dengan kepalan tangannya. Leva memejamkan matanya melihat hal itu.
BUGH!
Aileen memukul perutnya dengan keras hingga Leva terbatuk. Tapi setelah itu Leva kembali merebahkan dirinya diatas paha Aileen, ia tau Aileen belum selesai dengan pukulannya.
PLAKK!
Aileen menamparnya dengan keras dibagian pipi kirinya hingga terasa panas.
"Tapi gue benci lo Levana!" Kata Aileen dengan keras lalu kembali memukul dada Leva dengan kepalan tangannya.
BUGH!
"Lo jual perasaan gue demi motor? Lo pikir perasaan gue ini apa?"
PLAK! Aileen kembali menampar pipi Leva.
"Gue pikir lo tulus sama gue. Ternyata cuma taruhan? Berapa sih harga motornya? Perlu gue beliin?" Tanya Aileen sambil menjambak rambut Leva dengan keras.
Leva tak berani meringis dan mengeluh, karena itu benar benar salahnya, dan Aileen datang di waktu yang salah. Ia tadi mau mejelaskan pada Evans dan Diva kalau ia membatalkan taruhan itu. Tapi Aileen malah datang sebelum Leva menjelaskannya.
"Kenapa ga ngomong lo hah?! Ga brani jawab?! Punya mulut ga lo! Lo mainin perasaan gue bisa, jawab gini aja ga bisa lo anjing"
"Pantes ya lo cabul cabul ke gue. Apa yang lo harapin hah? Dapet jalang gratis? Perlu gue cariin lo jalang pribadi?!"
Bukan, bukan jalang yang Leva cari, ia hanya ingin melihat wajah kesal Aileennya.
Setelah itu Aileen menangis dengan keras meluapkan rasa sakit yang ia rasakan. Rasanya benar benar sakit dan menyesakkan. Hatinya terasa seperti teriris pisau tajam, dan dadanya terasa berat.
Leva tak menjawabnya ia hanya menatap Aileen dengan tatapan kosongnya. Ia juga merasakan sakit yang Aileennya alami dengan melihatnya menangis.
Perlahan Leva menggerakkan badannya. Badannya terasa sakit, tapi sakit yang ia rasakan tak sebanding dengan rasa kecewa Aileen padanya.
Leva memiringkan badannya dan menghadap kearah perut Aileen lalu memeluknya erat.
"Aileen kalo mau pukul lagi ga papa, aku bakal terima, tapi abis itu dengerin penjelasan aku, mau?"
Aileen tak menjawabnya, tapi lanjut memukuli punggung Leva dengan kuat. Leva membiarkannya ia memejamkan matanya sejenak karena terlalu lelah, kepalanya terasa berputar serta berdenyut jangan lupakan telinganya yang berdengung dan badannya terasa sakit.
•───────•. ° ☾ .•───────•
"Leva anjing lo babi lo kenapa mau di pukulin anjing! babi! kucing! kudanil! badak cula!" Aldric terus memaki maki dirinya tepat di depan wajahnya.
Leva tak mendengarkannya lagi, Leva melihat kesekeliling ruangan yang ia tempati. Sepertinya ia pingsan.
Sekarang ia berada di dalam kamarnya, dan Aileen tidak ada disekitarnya. Hanya ada Aldric disana.
"Lo bisa bela diri tolol! Lo juga tinggi babi. Setinggi apa lawan lo sampe lo ga bisa tendang palanya hah?! Gue tanya lo sekali lagi ya, bajingan mana yang mukulin lo sampe kaya gini?!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Mellifluous
Teen Fiction"Lebih mending gue pura pura ga liat lo terus lanjut bareng dia, atau gue nyamperin lo?" "Ih! Samperin Aileen lah!! Ga boleh sama yang lain! Leva punya Aileen!" "Emang gue mau?" •───────•. ° ☾ .•───────• "Rasanya nyaman... Aman... Aileen suka d...