"Kok sepi? Yang lain pada kemana?" tanya Chelsea saat pertama kali memasuki ruang club fotografi, karena jika jam istirahat pasti akan banyak murid yang berdatangan hanya untuk tiduran bahkan makan. Tapi kali ini ruangan tersebut benar-benar kosong, hanya menyisakan ia dan Bagas.
Setelah mengetahui gadis itu sudah masuk sekolah Bagas langsung menariknya saat jam istirahat menuju ruang fotografi, jangan tanya berapa banyak orang yang melihat mereka, karena jawabannya sangat banyak. Masalahnya ia bukan pergi sama laki-laki biasa seperti Hendra atau Ferdi, melainkan kakak kelas idola semua orang yaitu Bagas. Chelsea yakin tanpa ia memberi tahu Leon, pemuda itu sudah tau apa yang terjadi di sekolah hari ini. Apalagi sosial media sangat cepat menyebar.
Bagas kini berdiri di depan Chelsea memandangi gadis itu yang sedang sibuk melihat hasil jepretan anak-anak. "Gue takut lo gak nyaman, jadi gue bilang gue ada perlu di ruangan" ucap Bagas lagi.
Chelsea tersenyum kecil, kini beralih melihat ke arah Bagas. "Makasih, memang agak sesak ramai orang" ucap gadis itu jujur. Apalagi belakangan memang paniknya mudah kambuh saat berjumpa dengan banyak orang.
Bagas yang tidak tahan lagi langsung memeluk Chelsea, mengusap rambut gadis itu halus. Rasanya tubuh Chelsea seakan semakin kurus dan lemah, Bagas memejamkan matanya menikmati aroma shampoo milik Chelsea. "Miss u" ucapnya singkat berhasil melemahkan Chelsea yang sempat kaget dengan perlakuan pemuda itu.
Chelsea merentangkan tangannya, membalas kembali pelukan Bagas sambil menyandarkan kepalanya di dada bidang pemuda itu. "Maaf udah buat lo khawatir" ucap Chelsea, ia tak tahu lagi harus berkata apa. Tapi yang jelas hanya itu yang bisa ia sampaikan sekarang.
Cukup lama melepas rindu akhirnya Bagas melepaskan pelukannya, memandangi gadis itu dengan wajah penasaran."Leon udah tau lo balik?" tanyanya.
Chelsea menggelengkan kepalanya, "Mas Farhan sita ponsel gue, kata papa lebih baik gue gak megang ponsel karena masa terapi" jelasnya.
Bagas melebarkan matanya, memandangi gadis itu tidak percaya. "Lo balik terapi lagi?" tanya pemuda itu mencoba memastikan apa yang baru saja ia dengar.
Chelsea menipiskan bibirnya, harusnya ia tidak mengatakan hal itu pada Bagas. Pemuda itu pasti terkejut, apalagi Bagas termasuk orang yang tau keadaannya. "Harusnya dari awal gak gue skip, jadi disuruh terapi lagi sampai kondisi memungkinkan untuk berhenti" jelas Chelsea lagi. Lagipula memang salahnya terlalu malas untuk terus pergi ke terapis.
Chelsea menepuk bahu Bagas pelan, sangat jelas terlihat dari wajah pemuda itu jika ia khawatir. "Tenang aja, gue gak papa. Orang rumah juga mulai ngejadwalin kelas meditasi dan olahraga lain untuk ngisi waktu kosong, ya sama aja kayak sebelumnya cuma sekarang tambah banyak aja" lanjut gadis itu dengan senyum mengembang, mencoba menyakinkan pemuda itu jika semua akan baik-baik saja.
Bagas menghela nafasnya, wajahnya berubah datar. Terlihat raut wajah lelah dari pemuda itu, "Leon udah tau soal sakit lo?" tanyanya dengan alis bertaut.
Chelsea menggeleng pelan, Bagas yang melihat itu pun mendecih."Lo takut dia khawatir?" tanya pemuda itu yang dijawab anggukan oleh Chelsea, memang sejak awal ia tidak ingin memberitahu Leon tentang sakitnya. Bagas yang melihat reaksi Chelsea mendengus kesal, "Jadi menurut lo gue gak bakal khawatir?" tanya pemuda itu terlihat kesal.
"Ya beda Gas, lo kan-"
Sebelum Chelsea menyelesaikan ucapannya, Bagas langsung memotong. "Sahabat lo? Gak ada yang namanya sahabat cowok sama cewek Chel" jelas Bagas
Chelsea yang mendengar itu pun terdiam, memandangi pemuda itu dengan mata menatap lurus ke mata Bagas. Chelsea menarik nafasnya berat, "Lo suka sama gue?" tanya gadis itu hati-hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Batas [Completed]
Teen FictionSetiap orang punya batas sendiri yang tidak bisa di lewati oleh orang lain. Batas yang hanya boleh di masuki oleh orang itu sendiri. Begitulah Chelsea memandang Leon. Seseorang anak pindahan yang memiliki aura aneh yang selalu punya dunia sendiri...