69. Batas

11 1 0
                                    

Istirahat pertama dimulai, Leon langsung keluar kelas. Pemuda iu berlari menuju ruang OSIS, sejak tadi perasaannya benar-benar tidak tenang. Setelah ia meminjam ponsel Chelsea untuk menghubungi Alisya, gadis itu langsung mengiyakan untuk bertemu dengan Leon. Ia harus meluruskan semuanya dan meminta maaf pada gadis itu, mau bagaimana pun memang ia yang salah sejak awal. Alisya hanya coba untuk melindungi Chelsea, ia tau betapa gadis itu menyanyangi sahabatnya.

Langkah pemuda itu berhenti tepat di depan pintu uang betulisan plang OSIS, Leon mencoba mengatur nafasnya. Ia buka pintu perlahan dan mengintip ke dalam, memastikan apakah ada orang di dalam. Pemuda itu melirik ke sekitar, sampai akhirnya ia melihat sosok Alisya sedang duduk di kursi sembari memainkan ponselnya. Leon menghela nafas sejenak dan kemudian mengambil langkah masuk ke dalam, tampak gadis itu hanya sendiri. Padahal biasanya ruangan OSIS akan ramai saat jam istirahat.

"Gue udah bilang di grup mau makai ruangan OSIS sebentar, jadi lo tenang aja. Gak bakal ada siapa-siapa di sini selain kita" ucap gadis itu menjelaskan semuanya.

Leon hanya ber'o'ria, ia duduk di dekat kursi yang tidak jauh dari Alisya. Mereka diam, tapi tidak dengan pikiran Leon yang sedang menyusun kata-kata untuk ia ucapkan ke Alisya. Setelah selesai dengan rangkaian kata yang ada di kepalanya, ia beralih menghadap Alisya yang masih sibuk dengan ponselnya. Pemuda itu menelan salivanya, tenggorokannya terasa tercekat. Ia hirup nafas dalam-dalam untuk menghilangkan rasa gugup.

"Alisya" panggil pemuda itu yang berhasil membuat Alisya teralihkan.

Gadis itu menatap kearah Leon dengan alis terangkat, sedangkan Leon mencoba tetap tenang walaupun sebenarnya ia tidak dapat tenang.

"Gue minta maaf, maaf gue terlalu egois dan mentingin diri sendiri" ujar pemuda akhirnya ia ucapkan, perkataan maaf itu jelas tulus dari hatinya yang terdalam. Ia bahkan butuh berhari-hati hanya untuk merangkai kata-kata tersebut hingga akhirnya bisa ia ucapkan.

Alisya diam sejenak, ia alihkan pendangannya kembali ke ponsel. Melihat itu rasanya jiwa Leon benar-benar runtuh, gadis itu sudah sangat membencinya. Tapi tidak lama suara Alisya kembali menyadarkannya.

"Lo tau Eon" ucap Alisya berhenti sejenak sambil melihat ke arah Leon.

Gadis itu mengalihkan pandangannya ke tempat lain, "Dulu waktu Dimas pacaran sama Chelsea, gue juga gak ngasih izin ke mereka. Gue ingat banget Dimas bahkan sampai nyogok gue biar dia direstuin, padahal gue bukan orang tua Chelsea, gue cuma sahabat tu anak. Tapi karena kami sahabat jadi gue punya firasat orang kayak gimana yang baik buat dia. Waktu gue tau Dimas temanan sama lo gue langsung nolak dia mentah-mentah, karena gue kira dia bakal sama kayak lo, tapi dia nunjukin sama gue kalau dia beda. Dia cuma anak baik yang ingin melindungi teman-temannya, itu kenapa lo gak pernah ngerokok waktu sama dia kan?" tanya Alisya dengan senyum kecil menatap Leon.

Leon menaikkan alisnya,"Karena dia punya asma" jawab pemuda itu yakin. Leon sangat mengingat jelas ucapan  pemuda itu tentang memiliki asma dan akan sesak nafas jika berhadapan langsung dengan asap rokok. Perkataan tersebutlah yang terus Leon ingat dan membuat ia tidak pernah sama sekali merokok di dekat Dimas, jika pun pemuda itu datang tanpa terduga ia langsung mematikannya.

Alisya tersenyum kecil dengan raut sedih, "Dia gak punya, dia bohong" ujar gadis itu. Hal itu bukan kebohongan, tapi Dimas memang tidak pernah memiliki asma. Alisya pernah beberapa kali memergok pemuda itu sedang duduk bersama pemilik kedai yang sedang merokok sambil bercengkrama, tampak pemuda itu tidak terganggu sama sekali dengan asap rokok. Ia juga sudah menanyakan pada orang-orang terdekat pemuda itu dan jawabannya seperti yang ia harapkan, pemuda itu tidak pernah memiliki penyakit asma dan bisa dikatakan Dimas benar-benar sehat dan bugar.

Alisya diam sejenak, gadis itu mengambil nafas. Akhirnya hari dimana ia mengatakan semuanya yang ia tau tiba juga, gadis itu tidak percaya ia bisa menyimpan semuanya selama ini. "Dia pengen setidaknya lo bisa perlahan berhenti ketika sama dia, dan lo juga tau betapa ketatnya orang tua Bagas kan. Dimas yang selalu nelepon mereka buat yakinin kalau kak Bagas gak pernah lewat batas dalam berteman, itu kenapa waktu Chelsea jadian sama Dimas kak Bagas diam aja, padahal yang duluan kenal Chelsea justru kak Bagas. Lo tau apa yang buat gue makin kesal, waktu lo seenak jidat pergi sekolah keluar kota tanpa bilang kita dan ninggalin Chelsea yang udah hampir gila di RSJ. Gue bahkan gak pernah sekalipun liat kak Bagas tidur waktu Chelsea di rawat, ia terus nemanin Chelsea walaupun saat itu ujian dan dia harus belajar mati-matian buat mastiin nilainya gak anjlok. Terus lo datang lagi tanpa aba-aba jadian sama Chelsea, sementara lo gak ada konstribusi sama sekali buat kesembuhan Chelsea" jelas gadis itu menumpahkan semua kekesalannya pada Leon yang selama ini ia pendam, cukup lama ia ingin mengatakan hal tersebut tapi Bagas selalu menahannya.

Leon terdiam, pemuda itu benar-benar tidak bisa berkata apa-apa lagi. Terkejut, malu, kesal dan penyesalan bercampur menjadi satu. Ia jelas tidak akan membela diri, sejak awal ia sudah sangat bersalah, pada Bagas, Chelsea dan bahkan ia mengingkari janjinya pada Dimas yang tanpa sadar sudah membantunya sejauh ini. Jika bukan karena Dimas, Leon mungkin tidak akan pernah menjadi wakil ketua OSIS, jabatan itu sangat berbeda dengannya dulu yang gemar tawuran dan bolos. Kehidupan SMA yang ia jalani sekarang adalah kehidupan SMP yang Dimas jalani, bukan membantunya secara terang-terangan tapi pemuda itu membantunya berubah perlahan hingga merubahnya menjadi dia. Leon mengusap wajahnya dengan tangan sambil menghela nafas kasar, ia berjalan mendekati Alisya menatap gadis itu dalam. "Maaf Sya, tapi kali ini gue janji gak bakal ninggalin Chelsea. Gue bakal pastiin selalu sama dia gimana pun kondisinya" ucap Leon jujur.

Alisya tidak menjukkan reaksi apa-apa,"Gue harap lo betulan sama janji lo Eon. Chelsea sekarang bisa balik kayak dulu kapan aja, apalagi ingatannya udah mulai balik" ucap gadis itu dengan wajah datar. Tidak peduli memilihi hubungan saudara dengan pemuda itu, tapi jika Leon meninggalkan Chelsea sekali lagi ia benar-benar tidak pernah mau berhubungan lagi dengan pemuda itu.

Leon mengangguk kecil, tidak lama terdengar suara pintu terbuka. "Lia, kenapa gak masuk?" ucap Irfan tepat di depan pintu sambil menandangi Lia yang seperti membeku di tempat.

Irfan beralih memandang ke arah Alisya dan Leon,"Ngomongin apa lo berdua? Serius amat" ucapnya yang langsung di jawab dengan seadanya oleh Alisya. "Lagi bentuk koalisi"

Sementara Alisya berbicara dengan Irfan, Leon langsung menarik Lia ke tempat yang lumayan sepi. Pemuda itu melepaskan tangan Lia, menatap Lia dengan mata serius. "Lo udah dengar sampai mana?" tanya pemuda itu terlihat agak menakutkan bagi Lia.

"Kak Chelsea sakit" jawabnya dengan ragu, sebenarnya ia hampir mendengar semua pembicaraan mereka, tapi Lia tidak ingin membuat Leon semakin marah lagi.

Pemuda itu menghela nafasnya, entah lega atau tidak tau harus berbuat apa lagi."Tolong jangan kasih tau siapa-siapa" ucap Leon dengan nada merendah, terdengar lebih ke memohon di telinga Lia.

Lea mengangguk, lagipula ia tidak pernah berniat ingin mencampuri urusan orang lain. Melihat itu Leon pun langsung mengucapkan terima kasih, tapi Lia kembali membuka suara. "Kak Chel bakal sembuh kan Eon?" tanya Lia lagi dengan penasaran.

Leon menaikkan alisnya, "Lo udah tau Chelsea sakit?" curiganya, karena orang normal pasti akan bertanya lebih mendetail lagi apalagi gadis itu tipe yang ingin tau.

Lia diam sejenak, "Dia bilang jangan bilang ke lo, kayaknya dia takut lo khawatir" ucapnya jujur. Leon menghela nafas lagi, entah kenapa rasanya semua orang mengetahui apa yang terjadi pada gadis itu kecuali dirinya. Sebenarnya sudah berapa besar batas yang gadis itu buat untuk dirinya, sampai ia tidak tau apa yang terjadi.

******

Batas [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang