67. Motivasi

15 1 0
                                    

Chelsea membuka matanya perlahan, hal yang pertama ia lihat adalah atap kamar Leon. Gadis itu mengedipkan matanya beberapa kali, sambil memandangi sekeliling. Ia sedang berada di kasur Leon, padahal sebelumnya ia masih berada di kursi tapi sekarang sudah di ranjang pemuda itu. Tidak salah lagi, Leon pasti memindahkannya saat ia terlelap.

Posisi yang masih berbaring, gadis itu melihat punggung Leon. Memandangi pemuda itu sibuk mengerjakan tugas sekolah. "Leon" panggilnya.

Pemuda itu sigap membalikkan tubuhnya, memandangi Chelsea yang sudah terbangun dari tidurnya. "Udah bangun?" tanya pemuda itu dan kembali melanjutkan mengerjakan tugasnya.

Chelsea tidak bergeming sama sekali, ia ubah posisinya duduk di ujung kasur tepat belakang pemuda itu. Gadis itu diam lama sambil memandangi sosok Leon dari belakang, sosok yang selalu membuatnya punya alasan untuk sembuh selain keluarga dan temannya. Sosok pertama kali yang ia takutkan akan khawatir berlebih saat mengetahui kesehatannya, dan ternyata dugaannya benar. Pemuda itu selama ini menyalahkan dirinya sendiri akibat hal yang bukan ia lakukan, ia bahkan belum pernah melihat Leon menangis sebelumnya. Kali ini ia menangis untuk meminta maaf padanya.

"Aku yakin kamu udah tau masalah kesehatan aku kan?" tanya Chelsea tiba-tiba, tapi Leon tidak kaget sama sekali. Pemuda itu menoleh ke arah Chelsea, mengambil tempat di sebelah gadis itu.

Leon menggenggam tangan Chelsea, mengusapnya halus. "Roma udah ngasih tau. Aku juga udah janji sama diri sendiri gak akan ninggalin kamu mau gimana pun, kita bakal lewatin semuanya oke. Berdua" ucap Leon sambil tersenyum kecil.

Mendengar itu ada sedikit perasaan senang di hati Cheslea, walaupun begitu rasanya tetap saja ada yang mengganjal. Raut gadis itu terlihat seperti sedih, ia tatap Leon dalam. "Tapi aku gak sehat Eon, mental ku gak stabil. Aku pasien di RSJ, aku bisa jadi gila kapan aja. Kamu harusnya menjauh dari aku setelah tau" ujar Chelsea penuh emosi dengan mata yang berkaca-kaca, tapi segera ia hapus air matanya.

Leon mengulurkan tangannya menangkup pipi Chelsea, membuat posisi gadis itu menatap Leon tepat. "Setelah aku ngejauh apa lagi? Kamu berharap aku dapat yang lebih baik? Chel, kalau kamu anggap aku pacarin kamu cuma main-main mending kamu hapus tu pikiran. Aku pacarin kamu karena aku yakin kita bisa saling support satu sama lain, karena aku beneran suka sama kamu" ucap Leon berhasil membuat air matanya jatuh, pemuda itu langsung menarik Chelsea ke dalam dekapannya. Tanpa sadar gadis itu mulai menangis, ia tidak menyangka pemuda itu akan mencintainya sebesar itu.

Leon perlahan merenggang pelukannya, menghapus air mata Chelsea dan kembali memeluk gadis itu. "Kamu pasti bisa sembuh Chel" bisiknya yang dibalas anggukan oleh Chelsea. Rasanya ucapan Leon benar-benar menjadi penyemangatnya, Chelsea benar-benar bertekad untuk sembuh sehingga tidak perlu membuat semua orang khawatir lagi.

*****

Leon merenggangkan tubuhnya, menutup buku pelajaran sambil melihat ke arah jam yang berada di meja. Pukul 18.35, sudah hampir 5 jam ia berkutat dengan buku pelajaran dan Chelsea juga masih sibuk membaca novel yang kebetulan ia bawa.

"Aku udah selesai, udah malam juga kayaknya" ucap Leon sambil melihat ke arah jendela kamarnya yang sudah gelap.

Chelsea yang mendengar itu pun ikut mengalihkan pandangannya ke jendela, yang diucapkan Leon benar. Langit sudah tampak gelap, padahal saat ia datang tadi langit masih terang. Gadis itu pun segera mengemas barang-barang nya, "Iya, kayaknya aku juga harus pulang. Takut dicariin mas Farhan" ujarnya yang tentunya hal itu disetujui oleh Leon, apalagi ia tau berapa menakutkan Farhan ketika pemuda itu marah.

"Boleh pinjam ponsel kamu buat nelepon mas Farhan gak?"tanya Chelsea dan Leon pun langsung memberikan ponselnya ke Chelsea tanpa berfikir panjang.

"Kenapa gak sama aku aja? Biar aku antar" tanya pemuda itu.

Batas [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang