Sudah menginjak dua bulan lebih sejak Chelsea di rawat, gadis itu kini sudah berhenti menangis histeris dan meraung. Ia kini lebih banyak diam dan melamun sambil melihat ke arah luar, tak jarang beberapa kali gadis itu menangis tanpa sebab. Jika beberapa minggu kemaren gadis itu tidak ingin berbicara dengan siapapun, sekarang ia lebih bisa merespon sedikit percakapan walaupun hanya dengan pandangan dan gestur tangan.
Semenjak mengetahui tempat rawat Chelsea, Leon dan Bagas hampir tiap hari datang hanya sekedar melihat kondisi dan membantu menjaga gadis itu agar keluarga Chelsea dapat istirahat. Walaupun perkembangan gadis itu memiliki peningkatan, tapi reaksi gadis itu saat bertemu mereka masih sama. Alhasil mereka hanya bisa melihat dari kaca kamar gadis itu. Bukan hanya Leon dan Bagas, kadang teman-teman Chelsea yang lain pun ikut membesuk walaupun tidak ada respon sama sekali oleh gadis itu. Alisya bahkan tidak kuat di dekat Chelsea lama-lama, setiap berkesempatan masuk untuk berinteraksi dengan gadis itu ia pasti keluar. Kadang ia juga keluar dengan tangisan karena harus kembali melihat Chelsea seperti itu.
Bukan hanya mereka yang menderita melihat Chelsea, keluarga Chelsea bahkan lebih tidak bisa di kategorikan baik. Mata mamanya dan Sello bengkak dengan wajah lusuh, sementara ayahnya benar-benar telihat wajah lelah apalagi ia masih harus masuk kantor dengan kondisi tersebut, tapi yang paling menonjol adalah wajah mas Farhan, kantung mata, wajah lusuh, dan tubuh semakin kurus terpampang jelas. Jika bukan karena Bagas yang menyuruhnya untuk istirahat mungkin Farhan tidak akan tidur ataupun makan, bisa jadi pemuda itu benar-benar menjadi mumi hidup.
Sello menatap kakak keduanya sambil menghela nafasnya, ia letakkan mangkuk makan siang tersebut di meja. Ia benar-benar lelah dengan sikap kakaknya itu, sejak pagi Chelsea tidak menyentuh makanannya sama sekali, bahkan sosok Farhan yang biasanya ia dengar tidak digubris sama sekali. Gadis itu hanya fokus pada jendela luar kamar yang menampilkan pemandangan langit biru kota.
"Mbak, tolong makan dulu" ucap Sello masih mencoba membujuk kakaknya lagi, tapi sama seperti tadi Chelsea bahkan tidak tertarik sama sekali dan masih fokus menatap langit. Gadis dengan tubuh kurus dan keadaan acak-acakan itu tidak menampik sama sekali, ia layaknya orang tuli yang tidak mendengarkan apapun.
Sello mengusap wajahnya lelah, ia memegang erat tangan Chelsea sambil memandangi gadis itu. "Mbak gak kasian sama mama papa tiap hari liat mbak kayak gini terus, kalau pun mbak gak niat buat sembuh setidaknya tunjukkin kalau mbak niat buat hidup" ucap gadis itu dengan air mata yang sudah mengalir karena mulai frustasi dengan kelakuan kakaknya. Chelsea hanya diam, matanya tidak menoleh sedikit pun. Gadis itu layaknya raga yang kehilangan jiwanya.
Bunyi pintu terbuka terdengar, Sello langsung mengalihkan pandangan ke arah sosok Farhan yang baru masuk sambil membawa plastik belanjaan yang penuh jajanan kesukaan Chelsea. Pemuda itu langsung menampilakan senyum cerah, "Chel, ini mas bawain snack kesukaan kamu" ucap Farhan sambil menunjukkan makanan tersebut pada Chelsea. Namun usaha tersebut sia-sia, reaksinya masih sama seperti sebelumnya.
Melihat tidak ada reaksi, senyum Farhan pun memudar. Ia belai rambut Chelsea sambil membenarkan rambut yang menutupi mata sambil menatap sedih adiknya.
"Chel, ada yang mau ketemu kamu" ucap Farhan tanpa digubris sama sekali oleh Chelsea.
Pintu kamar kembali terbuka, menampilkan seorang wanita paruh baya bersama seorang anak laki-lakinya. Dua orang itu berjalan mendekati Chelsea dan langsung mengambil alih tempat Sello dan Farhan. "Hai Chelsea" ucap wanita tersebut dengan lembut sambil menggenggam tangan lemah Chelsea.
Chelsea yang mendengar suara tidak asing itu langsung menoleh dengan mata sedikit melebar, matanya tak lepas memandangi sosok wanita itu dan anaknya. Wajah lembut yang dulu biasa ia lihat masih saja terlihat sama seperti dulu, sementara anak kecil itu tumbuh besar dengan wajah sedikit mirip kakaknya. Chelsea membeku, tidak sanggup berkata apapun sementara air matanya mulai sudah berlinang.
Menyadari arah pandangan Chelsea wanita itu pun merangkul putranya sambil tersenyum,"Ini adiknya Dimas yang dulu masih kecil, namanya Rio. Sekarang udah besar, mirip kan sama kakaknya" ujar wanita yang merupakan bundanya Dimas itu. Chelsea mengangguk kecil, tidak dapat dipungkiri Rio benar-benar mirip dengan pemuda itu.
"Rio ayok kasih hadiahnya buat kak Chelsea" mendengar ucapan bundanya Rio yang agak malu-malu menyerahkan sebuah bucket bunga, "Dia yang milih bunganya buat kamu" ujar wanita itu sambil tersenyum dan membelai lembut rambut putranya.
"Ini buat kakak" ucap Rio gemas dengan wajah malu-malu.
Chelsea terdiam sejenak, memandangi bunya lily kesukaannya sudah di tangan. Perlahan air mata mulai kembali menetes, Rio yang melihat itu panik mendekati Chelsea sambil menghapus air matanya dengan sapu tangan yang ia bawa. "Kenapa kakak nangis, jangan nangis" ujar anak kecil itu dengan pintarnya. Chelsea menggeleng kecil dan menghapus air matanya, ia mencubit pipi Rio kecil sambil tersenyum.
Bunda Dimas yang melihat kejadian itu pun menitikkan air mata, ia sangat mengerti apa yang Chelsea rasakan. "Seleranya sama kayak Dimas, bahkan kelakuan mereka bahkan mirip" ujar wanita itu yang dibalas anggukan oleh Chelsea. Ia tidak menyangka Rio sangat memiliki sifat Dimas, ia seperti merasa bertemu sosok Dimas dalam versi kecil.
"Boleh kakak peluk?" izin Chelsea dengan suara kecil sambil merenggangkan tangannya, tanpa pikir panjang Rio langsung mengangguk dan mendekatkan tubuhnya ke arah Chelsea. Gadis itu menutup matanya, air matanya kembali mengalir saat kembali mengingat pemuda itu.
Bunda Dimas membelai rambut Chelsea pelan, "Kamu gak perlu merasa bersalah" ujar semakin membuat Chelsea menangis. "Semua yang terjadi bukan salah kamu, tapi emang udah takdir. Itu takdir Dimas buat pergi saat itu, bunda gak pernah nyalahin Chelsea. Bagi bunda Chelsea tetap anak bunda" lanjutnya lagi.
Wanita itu tersenyum tipis, "Dimas juga gak mau liat kamu begini terus, kamu harus bahagia. Kami juga udah ikhlas jadi kamu juga harus ikhlas ya sayang" ujarnya dengan nada gemetar, walaupun ia sudah mengikhlaskan kepergian anaknya tentu saja rasa sesak di dada masih terasa. Mungkin jika bukan karena ayah Dimas dan Rio yang selalu menguatkannya ia pasti juga mengalami hal yang sama seperti Chelsea.
Rio melepaskan pelukannya, kini gantian bunda Dimas yang memeluk Chelsea. Wanita itu menitihkan air mata, tubuh gadis itu benar-benar sangat kurus dan lemah. Saking kurusnya ia bisa merasakan tulang rusuk gadis itu, "Terima kasih sudah mencintai Dimas dan ngebuat dia bahagia. Tolong ikhlasin Dimas ya sayang, kamu juga harus bahagia" ucap wanita itu. Chelsea kembali menangis, ia tak menjawab ucapan tersebut sama sekali. Tangisan gadis itu pun semakin menyesakkan.
Wanita itu melepaskan pelukannya dan mengeluarkan buku dari tasnya, "Ini bunda tinggalin diary Dimas buat kamu, di sana juga ada surat yang Dimas tulis buat kamu untuk terakhir kali" ucap wanita itu sambil menghapus air matanya dan meletakkan buku tersebut di atas selimut Chelsea. Chelsea mengambilnya perlahan, memandangi sejenak buku tersebut dan menghirup aroma Dimas yang masih melekat di sana. Aroma yang sempat ia lupakan. Ia memeluk erat buku tersebut dalam tangisan.
Wanita paruh baya itu memilih untuk keluar, meninggalkan Chelsea dengan dirinya sendiri. Hal yang sejak lama ingin ia sampaikan akhirnya sudah ia katakan, ia pandangi sosok Farhan sambil menepuk bahunya. "Tinggalin Chelsea sendiri, ini cara terbaik supaya dia bisa maafin dirinya sendiri" ujarnya sambil tersenyum kecil. Farhan mengangguk kecil sambil memandangi sosok rapuh Chelsea dari kaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Batas [Completed]
Teen FictionSetiap orang punya batas sendiri yang tidak bisa di lewati oleh orang lain. Batas yang hanya boleh di masuki oleh orang itu sendiri. Begitulah Chelsea memandang Leon. Seseorang anak pindahan yang memiliki aura aneh yang selalu punya dunia sendiri...