37

2.1K 210 4
                                    

Kini Rosè menatap kakaknya tajam. Entah apa yang Jennie fikirkan hingga melakukan hal itu pada adiknya. Rosè sangat tidak terima dengan perlakuan kakaknya.

"Apa kau ingin kejadian itu terulang, unnie?" tanya Rosè tajam yang langsung mendapat gelengan dari Jennie. Gadis bermata kucing itu tak bisa membayangkan jika Lisa kembali pergi dari hidupnya.

"Mian.. Aku menyesal.." saut Jennie dengan lirih.

"Kau selalu seperti ini, unnie. Kau akan menyesal setelah menorehkan luka pada seseorang. Dibalik sikap dinginnya, dia juga membutuhkan kehangatan kita. Ini sudah menjadi tugas kita untuk memahaminya dan membimbingnya agar bisa kembali menjadi Lisa yang kita kenal. Bukan malah menggunakan kekerasan seperti ini." omel Rosè panjang lebar berusaha menyadarkan kakaknya. Dengan susah payah Rosè meredam egonya namun Jennie malah seenaknya berbuat kasar pada Lisa. Tentu itu membuat Rosè murka.

Kalimat Rosè mampu menohok hati Jennie. Sontak Jennie terbangun dari tempatnya dan bergegas mendatangi adik bungsunya. Namun belum sempat kakinya melangkah lebih jauh, Rosè sudah lebih dulu mencekal lengannya.

"Dia sedang pergi," ucap Rosè yang seolah bisa menebak apa yang akan kakaknya lakukan. Jennie menghembuskan nafasnya berat setelah mendengar informasi dari adiknya.

"Aku akan pergi ke makam eomma, apa kau mau ikut?" tanya Jennie yang mendapat pelototan dari Rosè.

"Apa kau ingin mengunjungi eomma selarut ini?" tanya Rosè terkejut dengan keputusan kakaknya.

"Aku sangat merindukannya.." jawab Jennie sendu. Niat hati ingin melarang kakaknya, namun dirinya terlanjur tidak tega melihat wajah sendu Jennie. 

"Jangan menyetir sendiri, unnie."

Jennie tiba di pemakaman ibunya ditemani dengan sopir pribadinya. Sejujurnya gadis itu sudah sangat jarang pergi menggunakan sopir. Hanya saja dirinya menuruti kemauan adiknya.

Waktu sudah menunjukan tengah malam. Dengan penuh keberanian, Jennie melangkahkan kakinya menuju nisan ibunya. Rasa takut sama sekali tidak menghantuinya. Kerinduan pada ibunya mengalahkan segala rasa takut itu.

Baru saja melangkah, Jennie terdiam tatkala seseorang tengah menangis pada nisan ibunya. Wajah orang itu tidak terlihat karena penerangan yang minim. Namun Jennie berhasil dibuat membeku ditempatnya tatkala mengenali suara itu.

"Lisa.." gumam Jennie setelah mengetahui siapa orang itu.

"Eomma, aku merindukanmu. Maaf karena tumbuh menjadi gadis yang buruk," ucap Lisa dengan suara bergetar. Jennie menatap adiknya tidak percaya. Lisa yang terlihat dingin tak tersentuh kini menangis dihadapan nisan ibunya.

"Apa sikapku menyakiti mereka? Aku sama sekali tidak berniat untuk melakukannya. Aku hanya berusaha melindungi mereka," ujar Lisa sembari mengusap nisan ibunya. Mendengar tangis Lisa membuat hati Jennie seperti dicabik-cabik.

"Setelah memastikan semua baik-baik saja, aku berjanji akan kembali pada mereka," itu adalah kalimat terakhir Lisa sebelum benar-benar meninggalkan pemakaman. Secepat mungkin Jennie bersembunyi tatkala Lisa hendak kembali. Rasanya terlalu canggung jika mereka berdua harus bertemu dalam situasi seperti ini.

"Lisa-ya.." gumam Jennie lirih sembari menatap punggung adiknya yang mulai hilang dari pandangan. Awalnya Jennie mengira jika Lisa adalah gadis yang dingin dan tak berprasaan. Namun setelah melihat kejadian ini, Jennie yakin sebenarnya adiknya sangat membutuhkan tempat bersandar. Gadis itu hanya berpura-pura kuat. Padahal sebenarnya Lisa adalah gadis yang sangat rapuh.

Jennie beralih menatap tangan kanannya. Tangan yang ia gunakan untuk menyakiti adiknya. Dengan rasa bersalah yang amat mendalam, Jennie terus merutuki dirinya yang mudah tersulut emosi.

"Aku kakak yang bodoh."

Kini Rosè tengah terduduk dihadapan seorang pria yang sengaja ia panggil untuk menyatakan kesaksian.

"Dia membunuh keluargaku," ucap pria itu dengan suara bergetar membuat hati Rosè teriris mendengarnya.

"Apa ada alasan khusus dia membunuh keluargamu?" tanya Rosè menginterogasi.

"Aku tidak tahu, yang pasti dia membunuh putraku didepan mataku sendiri," jawab pria itu sembari memejamkan matanya.

"Apakah saat ini dia tinggal di Italia?" pertanyaan Rosè mengundang ekspresi lain dari pria itu.

"Dia baru saja kembali," jawaban pria itu mampu membuat Rosè membulatkan matanya sempurna. Tentu itu merupakan berita baik bagi Rosè. Karena dengan kembalinya orang itu dapat mempermudah penyelidikannya.

"Bagaimana kau tahu dia kembali ke Korea?" tanya Rosè membuat pria itu nampak berfikir sejenak.

"Aku tidak sengaja bertemu dengannya," jawab pria itu dengan tatapan penuh kebencian.

"Apakah kau bertemu dengannya saat dia bertopeng atau tidak?" pria itu terlihat menghembuskan nafasnya singkat sebelum menjawab pertanyaan detektif dihadapannya.

"Tidak," setelah melontarkan 1 kata itu, ia mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. Seketika dunia Rosè runtuh berkeping-keping setelah menatap foto yang diberikan pria itu. Bahkan tubuhnya sangat enggan hanya untuk sekedar bergerak.

"Kau lihat tatto ini, ini merupakan identitas mereka," Rosè menutup mulutnya tak percaya mendengar penjelasan pria dihadapannya. Meskipun foto itu menampilkan seseorang bertopeng, tapi Rosè dapat mengenal jelas siapa orang difoto itu.

"Aku akan mempercayakannya padamu, tolong berikan dia hukuman yang setimpal," itu merupakan kalimat terakhir sebelum pria itu pergi meninggalkan Rosè yang masih membeku ditempatnya.


"Mari bermain-main dengan keluargamu, Kim Lisa."

Hujan mengguyur kota Seoul malam ini. Berbeda dari hari-hari sebelumnya, Rosè pulang paling terlambat hari ini. Sedangkan Jennie  sibuk menyiapkan kata-kata yang pas untuk meminta maaf pada adik bungsunya. Semalam ia tertidur di pemakaman ibunya dan paginya malah harus direpotkan oleh banyak pasien. Akhirnya dirinya baru sempat meminta maaf malam ini.

Dengan ragu-ragu ia mengetuk pintu kamar Lisa perlahan. Merasa tak mendapat jawaban apapun, Jennie kini langsung membuka pintu Lisa tanpa aba-aba. Sedangkan Lisa tak henti-hentinya merutuki Jennie dalam hati. Gongyo sengaja tidak memberi kunci pada pintu Lisa dengan alasan takut gadis itu melakukan hal diluar nalar.

"Anyeong," sapa Jennie canggung sembari melangkahkan kakinya menghampiri Lisa. Kini Jennie mulai meraba sudut bibir Lisa yang sedikit berwarna keunguan karena ulahnya.

Jennie beralih mengambil obat dikotak p3k yang ia bawa. Dengan telaten ia mengobati luka Lisa secara perlahan. Tanpa Jennie sadari, kini wajah Jennie dan Lisa hanya berselang beberapa inci. Dari jarak sedekat ini, Lisa menatap setiap pahatan indah dari wajah kakaknya. Jika boleh jujur, Lisa sangat merindukan wajah itu.

"Selesai," ucap Jennie riang setelah memastikan luka adiknya terobati. Namun kini Lisa membulatkan matanya sempurna tatkala tiba-tiba Jennie mengecup pipinya.

"Apa kau marah?" tanya Jennie tanpa beban setelah mengecup adiknya. Lisa tak memberi balasan apapun dan memilih untuk terus menatap kakaknya.

"Mianhae.. Unnie terbawa emosi saat itu. Unnie terlalu mengkhawatirkanmu," ucap Jennie merasa bersalah sembari menatap Lisa sendu. Kini Jennie menyelipkan rambut adiknya kebelakang telinga dengan penuh kasih sayang.

"Mari kita hadapi semuanya bersama," ucap Jennie dengan tatapan penuh keyakinan.

Note
Sorry ya slow update, lagi banyak tugas + project nihhh 😭 Jangan lupa tinggalin jejak ya ges and see u di ch berikutnya 😁

Home?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang