Dengan tegap, Lisa menatap pistol di hadapannya. Sebentar lagi kompetisinya akan dimulai. Jantungnya sudah berdetak tak karuan. Dengan cekatan, ia mulai memakai pengaman untuk telinga dan matanya. Tatapan yang mulanya hangat, kini berubah menjadi tatapan dingin yang mematikan. Entah kenapa gadis itu menjadi sangat menyeramkan saat sedang serius.
"Baiklah. Para peserta dipersilahkan untuk bersiap.", ucap sang juri memberi informasi. Dapat dilihat di ujung sana, Jennie dan Rosè sudah bersorak untuk menyemangati adik bungsunya.
"Hitungan ke-3 dimulai."
Juri mulai menghitung mundur untuk memulai pertandingan. Lisa menggenggam erat pistol ditangannya. Berusaha menghilangkan kegugupan yang sedari tadi menyelimutinya.
"1"
"2"
"Dorr"
Tidak, itu bukan suara tembakan dari peserta. Melainkan suara dari tembakan yang lain. Semua atensi kini beralih pada seorang pria bertopeng yang dengan beraninya menyandera nyonya besar Hyekyo.
"EOMMA!", teriak Jennie yang langsung berhambur ke arah ibunya.
"JANGAN MENDEKAT! Atau kau akan menyaksikan kematian eommamu saat ini juga.", ucap pria itu sembari menodongkan pistolnya pada kepala Hyekyo. Jennie yang mendengar itu sontak membeku di tempatnya. Orang-orang kini sudah berlarian untuk bersembunyi, tak ingin diri mereka terlibat dalam masalah.
"JANGAN KAU BERANI MENYENTUH ISTRIKU! KAU TAHU SEDANG BERURUSAN DENGAN SIAPA, BUKAN?!", teriak Gongyo yang tak terima istrinya mendapat perlakuan seperti itu. Sedangkan Hyekyo hanya bisa diam sembari meneteskan air matanya. Tak ada yang bisa ia perbuat saat ini. Saat dirinya tengah pergi ke toilet, seseorang tiba-tiba membekap mulutnya.
"Appa, lakukan sesuatu.. Jebal...", rintih Jennie sembari memohon pada ayahnya. Tak mungkin seorang Gongyo gagal dalam melakukan sesuatu. Sedangkan Jisoo dan Rosè kini sudah berpelukan satu sama lain dengan air mata mengalir. Tubuh Rosè bahkan bergetar hebat saat ini.
Namun tanpa sadar, seorang gadis kini sudah berada di belakang pria itu. Menodongkan pistol yang seharusnya ia gunakan untuk lomba. Ia tak pernah menyangka, pistol itu akan berubah fungsi.
"Lepaskan eommaku, brengsek.", ucap Lisa dingin. Terdapat gurat kemarahan di matanya, seolah mengisyaratkan bahwa ia sangat ingin memembus tubuh pria itu dengan pistol ditangannya.
"Bocah sok pintar. Kau pikir aku takut dengan ancamanmu itu?", tak diduga, dengan nekatnya pria itu menggendong Hyekyo dan berlari kabur. Lisa yang melihat itu refleks menembakkan beberapa peluru ke arah pria itu.
Dorr
Dorr
Dorr
"ANIYO, EOMMA!", teriak Jennie yang langsung berhambur ke arah ibunya. Tidak perduli jika disana masih ada pria asing yang siap menembaknya kapanpun. Lisa tak menyangka pria itu akan bergerak selincah itu hingga pelurunya salah sasaran.
Lisa yang melihat aksi nekat Jennie langsung mengarahkan pistolnya pada pria itu agar kakaknya aman. Walaupun batinnya sudah sangat hancur saat ini, ia tetap menahan diri agar tidak ambruk. Tak bisa Lisa bayangkan segila apa dirinya jika Jennie ikut tertembak.Kini pria itu langsung kabur setelah dirasa situasi memojokannya. Lisa yang melihat itu langsung melemas di tempatnya. Pistol yang awalnya ia genggam erat-erat, kini meluruh begitu saja.
Darah dimana-mana. Jennie yang baru saja tiba dihadapan ibunya, tak kuasa lagi menopang tubuhnya. Dalam hitungan detik tubuhnya sudah ambruk begitu saja. Padahal ia merupakan mahasiswa kedokteran, namun dirinya tak siap melihat darah keluar dari tubuh ibunya sendiri.
"A- aku akan menelfon ambulance..", saut Rosè bergetar.
Namun tanpa mengucapkan sepatah kata, Gongyo langsung menggendong istrinya menuju ke mobil. Yang ada difikirannya hanyalah keselamatan istrinya. Rosè hanya bisa mengikuti Gongyo dari belakang sembari terus terisak. Disusul oleh Jisoo yang kini memapah Jennie dan mengikuti langkah Gongyo.
Tersisa Lisa seorang diri yang masih membeku di tempatnya. Menatap keluarganya yang satu persatu mulai hilang dari pandangan.
"Ini semua.. salahku..?"
Kini pria berjas yang awalnya mengawasi dari jauh, mulai mematung ditempat. Sungguh semua menjadi sangat rumit tatkala rencana yang ia susun serapih mungkin malah menjadi berantakan. Kini tangannya dengan lincah mendial nomor seseorang dengan bibir yang terus mengumpati orang itu.
"Aku memintamu untuk menculiknya. Bukan membunuhnya!", teriak pria berjas itu pada seseorang diseberang sana.
■
Tangis menghiasi suasana keluarga Kim saat ini. Gongyo, pria paruh baya yang terkenal oleh ketegasannya, kini terduduk tak berdaya di hadapan kedua putrinya. Ia hanya bisa mendekap Rosè dan Jisoo yang masih setia menangis dalam dekapannya. Sedangkan Jennie belum sadarkan diri sejak pingsan di lokasi.
"Appa... Apa eomma akan meninggalkan kita?", tanya Rosè dengan isak tangisnya. Tak ada balasan apapun dari Gongyo. Pria itu memutuskan untuk memperat pelukannya pada putrinya. Sebenarnya pertanyaan Rosè merupakan ketakutan yang sedari tadi ia pikirkan.
Namun perhatian mereka beralih pada seorang dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi. Pria yang menjabat sebagai dokter terbaik di Seoul itu kini menatap Gongyo dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Ia bingung bagaimana mengatakannya pada Gongyo. Pasalnya Gongyo bukan orang sembarangan yang dapat diperlakukan sama seperti keluarga pasien lainnya.
"Bagaimana kondisi istriku?", tanya Gongyo dengan tubuh bergetar. Demi tuhan, ia tak akan bisa hidup tanpa istrinya. Rasa cinta pada istrinya begitu besar.
"Kami sudah mengusahakan yang terbaik, tuan. Namun sisanya adalah kehendak Tuhan.", ucap Dokter Kang berusaha memberikan pengertian. Gongyo yang mendengar itu langsung melemas di tempat. Ia masih tidak dapat menerima kenyataan yang sangat menyakitkan ini. Bahkan air matanya terlalu kelu untuk menetes. Bibirnya bergetar sembari memanggil nama istrinya.
"Apa maksudmu?! EOMMAKU MASIH HIDUP! HENTIKAN OMONG KOSONGMU!", teriak Rosè yang langsung mendapat dekapan dari kakak sulungnya. Jisoo juga sama rapuhnya dengan keluarganya. Namun jika bukan dirinya, lantas siapa yang akan menenangkan adiknya? Dengan tubuh bergetar ia mendekap adiknya. Berharap jika pelukannya dapat memberikan ketenangan.
"Unnie.. Jika anak itu tidak lahir didunia, apa eomma kita masih hidup?"
Mendengar itu kini Jisoo menegang di tempatnya. Ia tahu, tidak ada yang bisa disalahkan dalam situasi ini. Semua hanya tentang takdir. Namun kesedihan yang sangat amat mendalam membuat dirinya menolak untuk menerima kenyataan itu. Izinkan dirinya untuk egois untuk saat ini. Izinkan Jisoo untuk menyalahkan orang lain untuk sekali saja dalam hidupnya.
■
Atap berwarna putih merupakan pemandangan pertama Kim Jennie. Saat berusaha terbangun, kepalanya malah berdenyut hebat. Namun beberapa detik kemudian ia teringat sesuatu, membuat dirinya langsung terbangun dan melepas paksa infus dipunggung tangannya.
Dengan isak tangis yang hebat, Jennie berlarian menuju resepsionis untuk menanyakan keberadaan ibunya. Mengabaikan para suster yang sudah meneriakinya.
"Dimana ruangan Park Hyekyo?", tanya Jennie dengan nafas terengal dan isak tangis yang menemani. Seorang wanita yang berprofesi sebagai penjaga resepsionis itupun langsung membolak balikkan halaman dihadapannya. Setelah menemukan nama yang ia cari, kini wanita itu menatap Jennie dalam.
"Baru saja dipindahkan ke ruang jenazah."
Note
Gimana nih chapter ini menurut kalian? Semakin banyak vote and comment, semakin cepet update 😎👊

KAMU SEDANG MEMBACA
Home?
أدب الهواةKim Lisa, perempuan berdarah bangsawan yang terpaksa kehilangan segalanya karena bakat yang ia miliki. Demi melindungi keluarganya, Lisa tumbuh menjadi manusia berhati dingin. Lisa rela melakukan apapun untuk mencapai tujuannya, bahkan dengan tumpah...