43

2.7K 216 0
                                    

Pagi ini Rosé duduk disamping brankar Lisa sembari menatap adiknya canggung. Rosè masih bingung bagaimana ia harus memulai percakapan dan bagaimana caranya meminta maaf.

"Aku haus," ucap Lisa berusaha memecah keheningan. Mendengar permintaan Lisa membuat Rosé langsung terbangun dari tempatnya dan bergegas mengambil air diatas brankar. Baru saja ia menyentuh gelas itu, tiba-tiba Lisa membuka suara.

"Apa kau masih membenciku?" tanya Lisa membuat Rosé mengeratkan cengkramannya pada gelas ditangannya. Sungguh ia merasa menjadi kakak yang buruk karena membuat Lisa berfikir seperti itu.

Kini Rosé melangkahkan kakinya mendekati brankar. Setelah memberikan air itu pada Lisa, kini dirinya beralih menatap gadis dihadapannya sendu.

"Aku tidak akan pernah bisa benar-benar membencimu, kau adalah adikku," ucap Rosé sembari mengusap punggung tangan adiknya lembut.

"Semua yang kukatakan dan kulakukan dahulu hanyalah didasarkan oleh emosi," lanjut Rosé berusaha memberi pengertian. Lisa memejamkan matanya sejenak sebelum mengeluarkan kalimatnya.

"Aku beruntung memiliki kakak sepertimu," Rosé seketika membeku ditempatnya. Ini adalah pertama kalinya dari sekian lama akhirnya Lisa mengeluarkan kata-kata manis. Hati Rosé seketika meleleh begitu saja.

"Aniyo," Rosé menarik nafasnya sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Aku yang beruntung memiliki adik sepertimu."

"Kau ingin ikut serta dalam pengobatannya??" tanya Dokter Kang tidak percaya dengan apa yang baru saja Jennie katakan. Ia masih tidak mengerti siapa Lisa sebenarnya bagi Jennie. Apakah Lisa benar-benar adik Jennie atau hanya kerabat? Ia sengaja tidak mencari tahu karena itu adalah privasi Jennie. Namun Dokter Kang yakin jika gadis itu adalah seseorang yang sangat berarti bagi Jennie.

"Ne.. Jadi kapan kita bisa memulai kemoterapinya?" tanya Jennie membuat Dokter Kang berfikir sejenak.

"Kita bisa melakukannya kapan saja, namun yang terpenting adalah kesiapan dari gadis itu," Jennie meremas pahanya. Ia tidak tahu harus mengatakan apa pada Lisa. Ia juga tak bisa membayangkan rasa sakit yang ditimbulkan dari efek pengobatan itu.

"Tapi kita harus melakukannya secepat mungkin, karena tumor itu bisa berkembang kapan saja," Jennie mengangguk faham. Ia akan membicarakan hal ini dengan Lisa.

"Yang pasti, jangan sampai ia merasakan apa yang sebelumnya ia rasakan," kalimat Dokter Kang mampu membuat Jennie memejamkan matanya. Merasakan rasa sakit dihatinya tatkala mengingat masa-masa dimana Lisa harus berjuang sendiri tanpa siapapun disampingnya. Bukannya malah mendukung, keluarganya malah beralih membencinya.

Jennie memasuki ruang inap Lisa setelah merenung beberapa saat. Ia sibuk memikirkan kata apa yang harus ia lontarkan ketika berhadapan dengan adik bungsunya. Sebisa mungkin ia menahan air matanya tatkala menyaksikan adiknya yang tengah meringkuk dibrankarnya.

"Anyeong," sapa Jennie sembari duduk disamping brankar Lisa. Lisa yang baru menyadari kehadiran kakaknya sontak sedikit mengubah posisinya.

"Apa kau sendirian? dimana Chaeyoung?"

"Kantin, aku memaksanya," jawab Lisa dengan suara serak. Mendengar suara Lisa membuat hati Jennie teriris. Jennie tahu adiknya pasti tengah menahan rasa sakit.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Jennie dengan senyum dipaksakan.

"Baik," jawab Lisa singkat.

"Terkadang tidak apa untuk terlihat tidak baik-baik saja," ucap Jennie sembari menatap adiknya sendu.

Home?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang