Hari ini Lisa menghabiskan waktunya di taman rumah sakit. Rupanya kemoterapi cukup menguras energinya. Efek dari kemoterapi itu membuat dirinya tak bisa tidur semalaman. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke taman hanya untuk sekedar mencari angin. Sebenarnya ia pergi ke taman bersama Jisoo, namun kakak sulungnya tengah pergi ke toilet saat ini. Kepergian kakaknya membuat Lisa cukup bosan.
Sampai tiba-tiba ia melihat seseorang yang sangat ingin ia temui. Orang yang belakangan ini tak pernah menunjukan batang hidungnya. Dengan antusias, Lisa menggerakan kursi rodanya mendekati orang tersebut.
Namun kini Lisa berhenti setelah melihat Irene berdiri disamping orang itu. Lisa mengenal Irene dengan sangat baik, Irenepun begitu. Irene merupakan sahabat Jennie sejak duduk dibangku sekolah dasar. Tak heran jika seisi keluarga Kim mengenalnya. Lisapun melanjutkan aksinya dalam menggerakan kursi rodanya mendekati Jennie.
Sebenarnya tujuan utama Lisa mendatangi Jennie adalah meminta penjelasan mengenai sikap Jennie yang seolah menghindarinya. Namun ia akan berbasa-basi terlebih dahulu pada Irene. Setelah jarak mereka hanya berkisar beberapa senti, Lisa memegang lengan Jennie membuat Jennie sontak langsung terkejut.
"Lisa?" sapa Irene berusaha memastikan. Namun alangkah terkejutnya Irene tatkala tiba-tiba Jennie menepis tangan Lisa dan menarik dirinya untuk menjauhi Lisa.
"Mari bicara di tempat lain," bisik Jennie sembari terus menarik Irene menjauhi Lisa.
"Apa yang kau lakukan?! Aku belum sempat berbincang dengan Lisa!" protes Irene yang tak mendapat balasan apapun dari sahabatnya.
Sedangkan disisi lain, Lisa membeku ditempatnya. Hatinya memanas tatkala tiba-tiba mendapati sikap dingin kakaknya. Padahal ia merasa tidak melakukan kesalahan apapun.
■
"Kenapa kau melakukan itu? Kalian bertengkar?" pertanyaan Irene tak mendapat balasan apapun dari Jennie. Gadis itu sibuk mengunyah ramen yang baru saja ia beli di kafeteria rumah sakit.
"Jennie-ya, setidaknya beri aku penjelasan setelah kau menarikku seenaknya!" omel Irene yang merasa tak terima diabaikan.
"Kau mau ramen?" pertanyaan Jennie berhasil membuat Irene semakin naik pitam. Kini ia menggebrak meja membuat perhatian orang-orang tertuju pada mereka. Namun untungnya Irene cepat menyadarinya dan segera meminta maaf pada orang-orang disekitarnya. Sedangkan Jennie masih sibuk memakan ramennya seolah tak terjadi apa-apa.
"Aku sudah menganggap Lisa seperti adikku sendiri. Perlakuanmu sudah keterlaluan, Jennie-ya. Bukannya mendukungnya, kau malah bersikap kasar padanya. Orang-orang sepertimu akan menyesal diakhir," kalimat Irene mampu membuat Jennie menghentikan kegiatannya. Kini pegangannya pada sumpit ditangannya makin erat.
"Apa kau malu memiliki adik-"
"Demi Tuhan, pemikiran seperti itu tidak pernah terlintas dalam kepalaku," potong Jennie yang akhirnya buka suara mengenai masalah ini.
"Aku hanya merasa tidak pantas, Irene-ah. Aku berhasil mendapat predikat dokter bedah terbaik di Korea. Tapi menyelamatkan adikku sendiri saja aku tak mampu," ucap Jennie dengan suara lirih.
"Lalu mengapa kau malah bersikap kasar padanya?"
"Setiap menatap matanya, rasa bersalah itu muncul. Aku bahkan sangat malu menampakkan batang hidungku padanya," Jennie kini menundukkan kepalanya. Membiarkan air matanya jatuh menetes. Irene yang awalnya duduk dihadapan Jennie, kini berpindah disamping gadis bermata kucing itu.
"Mian karena sudah menuduhmu," ucap Irene sembari merangkul tubuh sahabatnya.
"Jika sudah siap, cepatlah kembali padanya. Aku yakin sikapmu pasti menyakitinya."
■
Jisoo kini merangkul tubuh adik bungsunya dari belakang. Meskipun dirinya sempat dilanda rasa panik karena tak menemukan kehadiram adiknya di taman, namun melihat Lisa di lorong rumah sakit cukup membuatnya tenang. Menyadari kedatangan Jisoo, Lisa langsung bergegas menyeka air matanya, "Ingin kembali ke kamar?"
Lisa hanya mengangguk sebagai jawaban. Namun saat hendak mendorong kursi roda adiknya, Jisoo tidak sengaja menangkap wajah sembab Lisa.
"Kau menangis?" tanya Jisoo yang langsung mendapat gelengan dari Lisa. Mendapati jawaban adiknya, kini Jisoo memutuskan untuk kembali mendorong kursi roda Lisa.
"Lisa-ya," panggil Jisoo sembari mendorong kursi roda Lisa.
"Hm?" saut Lisa dengan suara sedikit serak.
"Kau tahu jika kau tidak pandai dalam berbohong?"
■
Gongyo berdiri disamping Jennie sembari menyeruput secangkir kopi ditangannya. Pria paruh baya itu tiba-tiba ingin berbicara 4 mata dengan Jennie. Membuat Jennie membatalkan banyak agendanya. Jennie tahu jika Gongyo sudah ingin berbicara 4 mata, berarti pria itu ingin membicarakan sesuatu yang sangat serius.
"Apa kau bertengkar dengan adikmu?" tanya Gongyo yang mendapat respon kebingungan dari Jennie. Sebenarnya yang Gongyo maksud apakah Lisa atau Rosè.
"Belakangan ini aku tak melihatmu mengunjungi Lisa secara langsung," lanjut Gongyo membuat Jennie menghembuskan nafasnya berat.
"Aku sedang sibuk belakangan ini," jawab Jennie yang mendapat tatapan intimidasi dari Gongyo.
"Kau bahkan bisa membatalkan semua jadwalmu hanya untuk berbincang dengan appa saat ini," seketika Jennie terdiam. Tak ada kalimat sanggahan yang dapat keluar dari mulut Jennie.
"Apa appa ingin menemuiku hanya untuk mengatakan hal ini?" tanya Jennie sembari menatap ayahnya tajam. Ia masih belum siap mengatakan apa alasannya sebenarnya.
"Aniyo," Gongyo kini menyeruput kopinya sebelum melanjutkan kalimatnya.
"Jennie-ya... Bisakah kau menjalankan operasi itu?" mendengar kalimat terakhir yang keluar dari mulut ayahnya membuat Jennie terkejut bukan main. Bahkan kini kakinya mulai melangkah mundur sanking terkejutnya.
"Semua tahu jika kemoterapi itu hanya dapat menghambat pertumbuhan tumor itu. Tapi berbeda dengan operasi," Jennie kini menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca.
"Apakah appa tahu berapa persentase kegagalan dari operasi itu?" tanya Jennie berusaha meredam emosinya.
"Bagaimanapun kita harus berusa-"
"70% APPA!" potong Jennie dengan nada tinggi. Gongyo seketika terdiam. Sebenarnya Gongyo tahu jika persentase keberhasilannya sangat kecil, namun ia tidak bisa tinggal diam seolah menunggu maut menjemput putrinya.
"Jennie-ya.. Tapi-"
"Melakukan operasi itu sama saja dengan merelakannya. Sampai kapanpun, aku tidak akan melakukannya," setelah menyelesaikan kalimatnya, Jennie pergi meninggalkan Gongyo yang masih membeku ditempatnya.
Note
Hari ini triple up sebelum bener² hiatus panjang 👍

KAMU SEDANG MEMBACA
Home?
أدب الهواةKim Lisa, perempuan berdarah bangsawan yang terpaksa kehilangan segalanya karena bakat yang ia miliki. Demi melindungi keluarganya, Lisa tumbuh menjadi manusia berhati dingin. Lisa rela melakukan apapun untuk mencapai tujuannya, bahkan dengan tumpah...