50

2.4K 211 9
                                    

Jennie dengan panik langsung berhambur kearah Lisa dan menyumbat darah yang keluar dari hidung adiknya dengan sapu tangan miliknya. Tangan satunya ia gunakan untuk memijit pangkal hidung adiknya. Mengabaikan jika kedua tangannya kini bergetar hebat.

Tangan Lisa terangkat untuk menggenggam tangan kakaknya yang kini bergetar hebat. Dengan lembut ibu jari Lisa mengusap tangan Jennie, "Gwenchana..."

"Apa ada yang sakit..?" tanya Jennie dengan suara bergetar hebat.

"Unnie... Setiap bagian tubuhku adalah rasa sakit.. Aku lelah.." ucap Lisa  dengan suara seraknya tatkala sesak menghampiri. Jennie tak dapat lagi menahan air matanya. Dengan ulet ia langsung memanggil perawat. Para perawat datang dengan troli yang mereka bawa.

Tubuh Lisa kini direbahkan diatas troli tersebut. Jennie tak membiarkan genggaman mereka terputus. Sedangkan Lisa sudah tak memiliki tenaga untuk membalas genggaman itu.

"Tolong bertahan.. Jebal..."

Seisi keluarga Kim datang dengan penampilan berantakan. Saat mendengar Lisa kritis, mereka langsung menggila menuju ruang ICU. Kini pemandangan yang mereka lihat adalah Jennie yang tengah meringkuk didepan ICU.

"Ada apa, Jennie-ya?" tanya Gongyo panik. Mengapa kondisi Lisa tiba-tiba drop?

"Appa... Mianhae..." ucap Jennie yang tak berusaha untuk memberi kejelasan lebih lanjut.

Rosè berjalan gontai ke hadapan pintu ICU. Tangannya bergerak meraba pintu itu. Kini tubuhnya melemas saat mengingat adiknya ada didalam.

"Unnie, apa yang terjadi pada adikku?" tanya Rosè dengan suara seraknya. Jennie hanya diam dan terus menangis. Ia tak kuasa untuk menceritakan apa yang terjadi pada adik bungsunya. 

Setelah beberapa jam menunggu, akhirnya dokter keluar dari ruang ICU membuat keluarga Kim langsung mengerumuninya.

"Bagaimana kondisi putriku?" tanya Gongyo khawatir. Dokter itu melepas kacamatanya dan menatap Gongyo sendu.

"Dia koma. Setidaknya kita harus bersyukur karena dia masih bertahan. Kalian bisa mengunjunginya sesuai protokol," ucap dokter itu dan langsung bergegas pergi

Sungguh seisi keluarga Kim lemas mendengar penuturan dokter itu. Entah kapan keajaiban Tuhan datang menghampiri anak bungsu keluarga Kim hingga dapat terbangun dari mimpi panjangnya. Sampai tiba-tiba mereka terkejut tatkala Gobgyo tiba-tiba berlutut dihadapan mereka.

"Tolong maafkan appa. Appa tidak pernah berhasil menjadi appa yang baik," ucap Gongyo dengan tubuh bergetar. Jisoo sontak menarik ayahnya untuk bangkit.

"Jangan begini, appa. Kau membuat suasana semakin tidak nyaman," saut Jisoo sembari berusaha memberi pengertian pada ayahnya. Kini Gongyo menghampiri Jennie dengan langkah gontai.

"Jennie-ya... Kumohon... Selamatkan adikmu.."

Jennie hanya terdiam sembari terisak. Sungguh ia tak mampu untuk melakukan operasi itu. Bahkan bayang-bayang kegagalan menghantuinya. Namun jika tak dilakukan, kondisi adiknya akan semakin memburuk.

Tanpa menjawab permintaan ayahnya, Jennie melangkahkan kakinya kedalam ICU. Ia ingin melihat wajah adiknya. Hanya wajah itulah yang dapat mengobati rasa sedihnya.

Setelah disteril dan memakai peralatan sesuai protokol, Jennie kini duduk disamping adik bungsunya. Menatap setiap alat yang menembus kulit mulus Lisa. Bahkan melihatnya saja Jennie ingin  menangis.

"Anyeong, Lisa-ya," ucap Jennie yang berusaha terlihat baik-baik saja.

"Kau merindukanku? Sekarang aku ada disampingmu. Ayo bangun dan peluk kakakmu ini," lanjut Jennie sembari mengigit bibirnya menahan  tangis. Sebisa mungkin ia berusaha terlihat baik-baik saja dihadapan adiknya.

"Menjadi kakakmu adalah karunia terbesar dari Tuhan. Aku tidak pernah malu memiliki adik sepertimu. Bahkan aku ingin seisi dunia tahu jika aku memiliki adik yang kuat sepertimu," ujar Jennie sembari mengusap rambut Lisa yang semakin lama semakin menipis.

"Aku hanya malu menampakkan diri padamu. Aku merasa aku adalah kakak yang buruk karena tidak bisa melakukan apapun untukmu," lanjut Jennie yang tanpa sadar sudah meneteskan air matanya.

"Aku tak akan henti-hentinya mengatakan bahwa kau adalah karunia terbesar dari Tuhan. Tolong jangan tinggalkan aku, Lisa-ya.. Jebal.. Kembalilah.." ucap Jennie yang mulai terisak.

Kini gadis itu mengecup dahi adik bungsunya sampai ia tak menyadari bahwa air matanya sudah membasahi wajah adiknya.

"Kau tidak perlu menunggu kehidupan selanjutnya untuk menjadi adikku yang berguna. Karena dikehidupan ini, kau sudah menjadi malaikat pelindung bagi kekuarga kita," ucap Jennie sembari mengusap rambut adiknya.

Setelah cukup menenangkan diri, akhirnya Rosè memberanikan diri untuk menjenguk Lisa. Sebenarnya ia sangat merindukan adik bungsunya, namun ia tak kuasa melihat alat-alat yang menancap pada kulit adiknya. Tangannya terus menggenggam tangan Lisa seolah tak membiarkan tangan itu pergi.

"Lisa-ya, ini baru 4 hari setelah kau koma. Tapi aku sudah sangat merindukanmu," ucap Rosè lirih sembari menatap adiknya sendu.

"Kau pasti bosan bukan? Aku membawakanmu buku dongeng," ucap Rosè sembari menunjukkan sebuah buku dongeng ditangannya.

"Apa kau ingin aku membacakannya?" tanya Rosè yang bertingkah seolah Lisa dapat menjawabnya.

"Tapi aku tidak akan membacakannya," saut Rosè sembari menurunkan buku dongeng yang ada ditangannya.

"Aku takut kau semakin betah tertidur jika aku membacakannya," ucap Rosè dengan senyum sendunya.

Kini Rosè mengecup pipi adiknya. Berusaha menyalurkan kehangatan dari ciumannya, "Kami selalu menunggumu kembali, Lisa-ya."

Ketika saudari-saudarinya sibuk menunggu Lisa di rumah sakit, Jisoo kini terduduk dibelakang mansionnya. Sebenarnya ia tahu ia tak akan kuasa melihat kondisi adik bungsunya. Dibanding harus menangis didepan Lisa, Jisoo memilih untuk mengunjungi tempat yang dapat mengobati rasa rindunya pada Lisa.

Saat ini didepan Jisoo sudah terdapat beberapa target tembak. Jisoo dulu sering menonton Lisa berlatih sembari berbincang disini.

"Aku merindukan masa itu," ucap Jisoo yang tanpa sadar sudah meneteskan air matanya. Kenangan-kenangannya bersama Lisa kini terputar bak kaset rusak.

"Lisa-ya, apa kau tidak merindukan tempat ini?", gumam Jisoo seolah berbicara dengan dirinya sendiri.

"Sebenarnya aku sempat berfikir jahat. Tak peduli berapapun orang yang kau bunuh, asal kau bisa kembali seperti dulu. Maka aku akan mendukungmu," gumam Jisoo sembari tersenyum kecut. Membiarkan bibirnya terus berbicara seperti orang gila.

"Melihatmu kesakitan lebih menyakitiku daripada melihat korban-korbanmu kesakitan," gumam Jisoo yang mulai melantur. Mungkin jika orang lain mendengarnya akan mengira jika Jisoo adalah orang gila yang kejam.

"Kembalilah... Jebal..."

Note
Sekian untuk hari ini dan sampai jumpa diwaktu yang tak ditentukan 🫶

Home?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang