Jennie kini berada diruangan Dokter Kang. Dokter senior itulah yang memeriksa keadaan Lisa selama berbaring di ICU.
"Bagaimana keadaan Lisa?" tanya Jennie menuntut penjelasan.
"Kau harus banyak berdoa sampai keajaiban datang," jawab Dokter Kang membuat Jennie menundukkan kepalanya. Kalimat Dokter Kang seolah memperjelas jika tak ada perkembangan dari kondisi Lisa.
"Jennie-ya.." panggil Dokter Kang membuat gadis itu mengalihkan atensinya pada dokter dihadapannya. Wajah Dokter Kang terlihat sangat serius.
"Kita harus mengambil tindakan lebih cepat," Entah kenapa hati Jennie tak siap mendengar kalimat Dokter itu lebih jauh.
"Tumor itu sudah menyebar ke organ penting gadis itu. Bahkan dalam keadaan tak sadarkan diri, ia masih tersiksa," ucap Dokter Kang membuat air mata Jennie jatuh seketika. Dunia Jennie seolah hancur. Semesta yang selama ini ia perjuangkan, kini sedang merasa kesakitan.
"Kau harus memikirkan tentang operasi itu, Jennie-ya. Aku tidak berniat memaksamu, tapi ini adalah satu-satunya usaha yang dapat kita lakukan," Jennie meremas pahanya. Sungguh situasi terus mendesaknya untuk menjalankan operasi itu. Tapi hatinya tak pernah sanggup untuk melakukannya.
"Fakta ini akan menyakitimu, namun persentase kegagalan operasi itu dengan persentase lama hidupnya sudah tak jauh berbeda," Jennie membulatkan matanya sempurna mendengar penuturan Dokter dihadapannya.
"M- mwo?"
"Maaf karena harus mengatakannya. Tapi ini adalah realita yang harus kau hadapi."
■
2 Minggu sudah mereka lewati. Akhirnya Jisoo memberanikan diri untuk menjenguk adik bungsunya. Namun jauh sebelum sampai ke ruang ICU, ia sudah menanamkan pada dirinya sendiri untuk tidak menangis apapun yang terjadi.
Setelah memasuki ruangan yang sangat dingin itu, Jisoo duduk disamping brankar adik bungsunya. Rasanya Jisoo ingin menangis setelah melihat alat-alat yang menembus kulit adiknya.
"Anyeong, apa kau merindukanku?" tanya Jisoo riang. Gadis itu bertingkah seperti tak terjadi apapun diantara mereka.
"Aku lelah menyuruh kakak-kakakmu untuk makan. Mereka seperti sedang berpuasa. Kau harus bangun dan membantuku untuk mengomeli mereka," ujar Jisoo panjang lebar.
Namun Jisoo tak kuasa menahan air matanya. Pada akhirnya, air mata itupun lolos. Jisoopun bergegas untuk menghapusnya.
"Apa kau lelah, Lisa-ya?" tanya Jisoo lirih sembari menatap wajah pucat adiknya.
"Maaf, tapi aku harus egois. Aku tidak siap kehilanganmu," ucap Jisoo sembari mengusap rambut adiknya.
■
Hari ini Rosè berada disamping adiknya. Sejak kemarin, ia terus berada disana. Bahkan kini dirinya tertidur disamping brankar adiknya dengan posisi kepala bertumpu pada brankar Lisa.
Sampai tiba-tiba ia terbangun tatkala ia merasa kepalanya diusap. Alangkah terkejutnya Rosè saat mengetahui siapa yang mengusap kepalanya.
"Lisa?!" pekik Rosè tak percaya. Bahkan gadis itu sempat menampar pipinya berkali-kali untuk memastikan bahwa ini semua bukan mimpi. Gadis itu langsung heboh memanggil perawat. Tak lama kemudian, beberapa perawat dan Dokter Kang datang.
Setelah memeriksa keadaan Lisa, kini Dokter itu tersenyum pada Rosè, "Sekarang dia sudah siap dipindahkan ke ruang inap."
Rosè tak henti-hentinya mengucapkan rasa terimakasih pada Tuhan yang memberinya kesempatan untuk menghabiskan lebih banyak waktu dengan adiknya.
Rosè menghampiri Lisa yang masih terkulai lemas dengan alat-alat yang masih menancap pada kulitnya. Bahkan tanpa sadar Rosè meneteskan air matanya haru.
"Apa tidurmu pulas?" tanya Rosè dengan senyum sendunya.
■
Saat ini seisi keluarga Kim sudah berkumpul, termasuk Jennie. Mereka mengelilingi Lisa yang masih terlalu lemas untuk berbicara.
"Maafkan appa, hm?" ucap Gongyo sembari mengecup dahi putrinya. Lisa kini mengerutkan alisnya pertanda tak mengerti dengan apa yang Gongyo ucapkan.
"Maaf karena appa selalu lalai dalam menjagamu," lanjut Gongyo yang langsung mendapat gelengan dari Lisa. Kini gadis itu mengangkat tangannya untuk menyentuh pundak ayahnya. Seolah memberi tahu ayahnya bahwa dia baik-baik saja.
Kini Lisa menatap Jennie yang tengah menatapnya sendu, "Ngghhh"
Jennie yang menyadari jika adiknya ingin mengatakan sesuatu sontak langsung mendekat. Ia menggenggam tangan Lisa lembut dan mengusap rambut adiknya.
"Jika keadaanmu membaik, alat itu akan bebas dari mulutmu. Bertahan sebentar, eoh?" ucap Jennie berusaha memberi pengertian pada adiknya.
"Lisa-ya, ayo bertahan. Unnie sudah menyiapkan banyak buku dongeng untukmu," saut Rosè berusaha memberi adiknya semangat. Sebenarnya itu juga merupakan janji Rosè saat masih di ICU.
■
Pagi hari tiba, kondisi Lisa sudah cukup membaik. Hal itu membuat beberapa alat kini sudah dapat dilepas dari tubuhnya.
"Lisa-ya, karena kau sudah cukup berjuang. Maka kami akan menuruti semua keinginanmu," ucap Jennie yang langsung diangguki anggota keluarganya yang lain. Lisa membalasnya dengan senyum sekilasnya.
"Bisakah aku pergi ke lapangan tembak?" permintaan Lisa cukup membuat seisi keluarga Kim tertegun. Lapangan tembak sebenarnya masih menyimpan rasa trauma tersendiri bagi setiap anggota keluarga Kim.
"Arasseo, mari kita ke lapangan tembak besok," ajak Jisoo yang tak mendapat balasan apapun dari keluarganya.
"Apakah dengan mendatangi lapangan tembak, kebencian kalian padaku akan kembali?" tanya Lisa yang langsung membuat Jennie dan Rosè membulatkan matanya.
"Sudah kubilang, aku tidak akan membencimu. Kita akan pergi besok," Lisa tersenyum mendengar penuturan Rosè.
"Dan... Bisakah kalian membelikanku bunga anggrek putih?" Jennie menggeleng mendengar permintaan kedua Lisa. Sungguh permintaan kedua Lisa sangat menyakiti hati Jennie. Karena Jennie memiliki arti lain untuk anggrek putih.
"Aniyo, aku akan membelikanmu mawar merah sebagai gantinya," ucap Jennie dengan suara bergetar. Jennie tahu jika bunga anggrek putih identik dengan kematian. Sampai kapanpun Jennie tak akan membiarkan bunga itu menemani adiknya. Lisa hanya bisa menatap Jennie sendu.
"Sampai kapan kau akan terus begini, unnie?" gumam Lisa yang hanya dapat didengar oleh dirinya sendiri.
Note
Chap ini lumayan dikit, tapi hari ini bakal double up kok 😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Home?
FanfictionKim Lisa, perempuan berdarah bangsawan yang terpaksa kehilangan segalanya karena bakat yang ia miliki. Demi melindungi keluarganya, Lisa tumbuh menjadi manusia berhati dingin. Lisa rela melakukan apapun untuk mencapai tujuannya, bahkan dengan tumpah...